Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Sore

18 Maret 2023   17:34 Diperbarui: 19 Maret 2023   00:37 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sore,sumber foto:tayang9

Angin sedikit sepoi selepas hujan siang. Menyusuri lorong-lorong kamar hingga ke dapur. Entah angin itu membawa aroma apa atau mencari aroma apa. Hari ini tak ada telepon berdering, kekasihku sedang di luar jangkauan dari telkomsel. Apakah masih ada daerah yang di luar sentuhan satelit itu, tapi begitu kata operator saat saya telepon, sudah berjam-jam saya menunggu telpon tidak ada yang berdering. Demikian sebaliknya, saya tidak bisa lagi menghubungi ibu, ibu saya yang sudah di luar jangkauan telepon seluler maupun pemancar satelit telkomsel tak mampu menyambungkannya.

Biasanya menjalang ramadhan tiba, kami saling menghubungi. Ramadhan kali ini saya tidak balik ke kampung atau ke rumah istri bersama anak-anak saya. Entah aku terjebak dalam keadaan, sedang dalam perjalanan entah sampainya kapan, tujuannya sudah sesuai dengan koordinat di peta, di maps pun demikian sudah sesuai. Mungkin saja saya harus membawa apa-apa, memikirkan apa-apa yang kurang selama perjalanan untuk tiba dengan selamat. Begitulah sebuah perjalanan, jika dekat bukan namanya perjalanan tetapi sekedar berjalan atau melangkah. Yang namanya perjalanan kadang harus diam, duduk, lari, jalan, singgah berdoa, membaca, meminum apa-apa agar lebih berenergi.

Kemarin siang, teman memberikan kue bolu oleh-oleh dari Nyadran. Saat ku renyah seakan menetes air mata mengingat kampung halaman, sebab layaknya Nyadran di Boyolali, dan di area gunung Merapi lainnya. Menjelang ramadhan tiba atau seusai ramadhan kami saling mengunjungi, jika pun tidak sempat berua muka, kita bisa saling telponan satu sama lain. Kue itu, mengingatkan aroma halaman-halaman depan rumahku yang di penuhi peziarah datang silih berganti. Ada yang menyapa, ada sekedar say hello, basa-basi. Sebuah tradisi yang amat kental, entah di luar nalar manusia tapi tradisi siarah tentu menyambungkan silaturrahim, satu sama lain.

Angin sore itu masih terus membisikkan, saat belanja nasi putih di warung makan padang. Pulanglah jika kau rindu! Pintanya sedikit merayu, pulanglah jika ada jembatan kasih dalam hatimu! Angin itu begitu lembut memelukku di sore itu depan kasur busa beserta buku-buku berserakan yang tak sempat aku rapikan. Sekali lagi ia meniup kupingku, pulanglah! anggap saja ramadhan ini berharga bagi kamu sekeluarga. Siapa yang akan menemani kekasihmu sahur, buka puasa, hingga taraweh. Lalu siapa lagi yang akan menghitung uang celengan masjid, siapa yang akan umumkan para donatur perantau yang harus dieja namanya satu persatu itu. 

Angin sore terus mengusikku, nasi putih saya makan bersama aroma masakan ibu saya yang dipadu dengan kasih sayangnya. Saya memilih nasi putih di warung makan padang, sebab aromanya hampir sama. Selepas meminum kopi saya bayangkan bekas bibir istri saya di sebelah kanan gelas, iyah saya ingat betul saat ia memasak kopi sehati untuk saya, ia masak hingga airnya meluap lalu dituang ke gelas diberi sedikit gula sekedar penetralisir kekuatan kopinya, diaduk 11 kali dari kiri ke kanan lalu ia minum sedikit sekedar mencobanya tepat di sebelah kanan gelas. Saat ku minum kopi itu yang saya seduh sendiri saya kembali membayangkannya demikian, tiba-tiba angin sore itu mengetuk lewat segala arah di kamar, melalui jendela, pintu, dan cerobong-cerobong di sudut kiri kamar saya.

Anggap saja ini sebuah surat rindu yang dikirim semalam saat sebelum tidur. Ia tepuk bantal tujuh kali sembari menyebut nama tuhan, nama nabi, nama-nama orang penting dalam dirinya termasuk namaku. Oh ya berarti namaku masih ada dalam dirinya. Terima kasih, saya menyambut angin sore itu dengan ucapan selamat, selamat merasuk tubuhku dan beserta ingatan-ingatanku. Saya ingin kau selalu datang memberiku angin, dengan tiupan yang sepoi seperti tiupan perempuan-perempuan itu yang menyebut namaku sebelum tidurnya lelap. Datanglah esok, saya dalam keadaan rindu yang sama akan menjemputmu, tanpa menghasut ku, rasuklah tubuhku yang kaku ini, masuklah bersama nasi putih, uap kopi ke dalam, bisikkanlah segala kesalahan hati dan pikiranku.

Telepon tak berdering, bagaimana kabarmu di sana? Saya di sini sedang rindu, ku tahan rindu ini dan ku balas kiriman angin sore ini. Semoga angin timur laut mengantar pesan rinduku. Miss u.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun