Sepanjang akhir tahun 2022 dan awal 2023 tercatat beberapa bencana yang melanda negeri kita. Dilansir pada laman Indonesiabaik.id bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya  3.522 bencana alam terjadi di Indonesia sepanjang 2022.Â
Bencana alam tersebut telah melanda hampir semua provinsi di negara kita. Bencana tersebut antara lain mulai dari kekeringan, kebakaran, angin puting beliung, banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, gelombang pasang/ abrasi, gempa dan sebagainya. Apakah bencana alam tersebut murni bencana alam?
Pandangan sederhana yang sering kita lontarkan ketika mendengar musibah atau bencana alam adalah menyalahkan alam, cuaca tidak menentu, curah hujan tinggi, gelombang pasang air laut, dan sebagainya.Â
Padahal segala yang terjadi dalam bumi ini tempat kita tinggal bersama tidak lain merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh pencipta kepada bumi, manusia, dan mahluk lainnya.
Stigma tersebut berkembang menjadi pandangan keliru menurut saya. Baiklah jika ada bencana alam seperti banjir. Tetapi bukankah sejak dulu jauh sebelum kita lahir curah hujan tetap demikian adanya.Â
Bukankah volume air di dunia ini tidak berkurang dan juga tidak bertambah. Sehingga ketika musim penghujan tiba berarti air yang dari bawah diangkat dengan proses alam lalu ditumpahkan ke bumi dengan proses alam juga.Â
Letak kesalahan alam di mana? Air sejatinya mencari jalan yang paling rendah, air sifatnya cair dan mengalir, air mencari celah, lubang hingga saluran. Olehnya itu air tidak boleh disumbat biarkan ia mengalir sejalan dengan kodratnya air.Â
Kesalahan bisa saja datangnya dari manusia. Bukanlah kesalahan karena namanya bencana alam dan dalam bahasa Inggris disebut natural disaster. Itu hanya konteks penamaan sebenarnya.Â
Tetapi yang lebih penting adalah peran manusia memperlakukan sumber daya alam yang ada termasuk air, tahah, udara, pohon, dan sumber daya alam lainnya.Â
Melihat konteks kebencanaan yang terjadi rutin setiap musim. Banjir di musim penghujan, misalnya. Adalah sebuah siklus alam dan di dalamnya ada campur tangan manusia.Â
Sebut banjir di kampung saya yang bertahun-tahun pasti sulit terhindarkan. Lantaran pasir sungai dikerut sudah puluhan tahun lamanya tanpa ada upaya perbaikan, penanaman pohon di sekitar, atau upaya penghentian tambang galian C yang hanya menyuplai pembangunan megah gedung berbintang di kota. Belum lagi di kota akan banjir paling tidak tiga kali setahun, lantaran pantai di kota provinsi kelahiran saya sudah dijadikan pusat pembangunan.Â
Pantai direklamsi, akhirnya ombak di pantai enggan berombak lagi. Angin tidak sepoi lagi lantaran terhalang dengan gedung. Belum lagi di beberapa kabupten yang sudah tidak bisa lagi bernafas lega lantaran gunung-gunung disulap jadi semen.Â
Memang toh setiap pembangunan butuh semen, tetapi mari dicermati amdalnya, mari adakan penghijauan, reboisasi, relokasi penduduk hingga relokasi tambang.Â
Jika demikian maka pemanasan glogal akan terjadi, cuaca akan ekstrem, gunung es di kutub yang kita andalkan akan mencair pada akhirnya bumi akan panas. Jika bumi akan panas akan menyebabkan udara yang panas di mana-mana tentu berdampak pada alam yang kurang bersahabat dengan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H