Saya dilahirkan di sebuah dusun Langi Kacu Desa Belanga, tepatnya Sabtu shubuh tanggal 13 Maret 1982. Bertepatan dengan hari ulang tahun kakak saya yang kedua tahun. Kelahiran saya juga sebagai pertanda ulang tahun pernikahan ayah ibu saya yang ke empat tahun, sebuah masa indah-indah kedua pasangan itu. Tengah malam menjelang shubuh hari itu ibuku menangis kesakitan, ayahku juga begitu cemas. Tidak ada dokter di kampung kami. Orang-orang hanya percaya kepada sanro anak (seseorang yang dianggap paham dalam hal lahiran). Bidan desa sebenarnya ada cuman rumahnya cukup jauh. Sembari ibu saya ditemani sanro anak tadi, ayah saya dengan motor vespa merek Piaggio milih pak Haji, ia berangkat menemui sekaligus menjemput bidan kampung. Tepat adzan shubuh berkumandang saya katanya keluar dari rahim ibu. Sebagai anak tentu lega, bisa membuat ibu saya selamat dari perjuangannya. Sebagai anak yang berdosa ini, saya merasa berterimah kasih tidak berlama-lama memakan mata rantai makanan ibu saya di dalam rahimnya, kasihan ibu saya. Tak lama berselang, ibu bidan kemudian dituntun menuju sudut kamar bola bodo (rumah adat bugis yakni rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan tiang yang pendek atau sedang tidak seperti rumah panggung lainnya menjulang tinggi). Ibu bidan didampingi sanro anak tadi sedang merawat ibu saya yang penuh darah segar. Andai saja saya sudah bisa melihat dan bisa merasakan kepedihan tentu saya menangis dan ikut rasakan sakit.
 Ada tanda kelaki-lakian dalam tubuhku, dan tangisanku yang penuh semangat. Pada akhirya ada tanda kelakian tersebut melekat pada nama saya. Setidaknya ada dua nama yang mereka sepakati dalam rumah itu yang pertama sumange alam (Sumange dalam bahasa Bugis berarti punya semangat yang kuat) jika ma-ssumange (berarti memiliki pemikat yang dapat membuat orang tekesima namun bukan dari perwajahan melainkan lebih cenderung kepada tabiat). Nama yang kedua setelah besar baru diumumkan yakni Rijal dalam bahasa Arab berarti dengkul atau lelaki. Saya tidak pernah protes dengan nama itu. Layaknya anak pada umumnya menerima nama pemberian dari orang tua yang sudah berjuang atas kehadirannya bersama manusia lainnya di bumi. Meskipun kelak di masa dewasa begitu sering terjadi perdebatan tentang nama, kelahiran, hingga identitas saya lantaran ada kesalahpahaman antara orang tua saya dengan kepala sekolah dasar ibu kandung pertiwi.
Tumbuhlah saya menjadi anak yang sangat aktif dengan penuh semangat. Suatu waktu para orang kampung sedang menggali sumur dan saya dibiarkan saja main di dekat galian sumur. Terjatulah La Sumenge tadi ke dalam sumur, tentu saja menangis. Berkat kelihaian penggali sumur maka saya berhasil diselamatkan. Ia turun dengan uluran tali dari lelaki perkasa lainnya meraih tubub saya yang sedang telanjang dibasahi air sumur dan air mata. Budaya kegotong royongan di kampungku pada masa kelahiran hingga saya dewasa nanti masih kental dengan kekeluargaan dan kegotogroyongan. Sehingga jika para lelaki bekerja semisal menggali sumur maka perempuan tentu sibuk di dapur memasak nasi, kue-kuean hingga air hangat seperti kopi dan teh hangat kadang juga jika suasananya hujan-hujan minumnya berupa sarabba (sebuah minuman khas bugis perpaduan jahe, santan/ susu/ dengan gula aren). Karena saya selalu disimpan begitu saja dekat dengan perempuan, entah kecorobohan pihak perempuan pada saat itu atau saya yang terlalu bersemangat sehingga saya sempat terkena air panas. Air panas membakar seluruh kulit bagian tubuhku khususnya bagian perut, saat itu bukan lagi air sumur dan air mata membasahi tubuhku melainkan air panas dan air mata sehingga kulit-kulit saya melepuh. Untung saja air mata saya cukup banyak sehingga bisa imbangi panasnya air di kulit. Bekas luka karena air panas tadi, membekas hingga di usia remaja. Jangan heran jika para gadi-gadis di usia anak-anak saya atau para perempuan tadi selalu menandai jika saya yang sedang main hujan-hujan di tanah lapang dengan dada telanjang. Bekas luka air panas membentuk seperti pulau sulawesi selatan tepat di mana saya dilahirkan. Namun seiring berjalannya waktu luka itu perlahan kabur dari tubuhku layaknya pudarnya kebudayaan yang mengikat kampung halamanku.
Kini kita saling memberikan ucapan tanpa meniup lilin yang sudah dibakar lalu tertawa bersama, hanya saling memandangi rupa wacah dalam layar kaca atau jejeran warna di dekat jendela. Hari ini kita saling menyapa bahkan kepada ibu yang sudah tidur lelap yang matanya kadang melihat laku dan liku anaknya yang laki-laki. Terkadang tertawa sendiri mengenang kisah pertama di taman kanak-kanak saat ayunan mengayung sendiri tanpa teman, saat layangan putus di siang hari lalu memingitnya esok pagi. Berlarian di tanah lapang ke sana ke mari menendang tak karuan, berjemur bersama di sawah dari pagi hingga petang hari. Bagaimana kabar burung-burung di pematang sungai, habis mandi berlomba memungut kacang tanah yang sudah matang kadang di makan atau dijual kepada tengkulak, saya rasanya rindu menjenguk masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H