Di sebuah kampung Belanga ada sekolah dasar (SD) bernama SD Ibu Kandung. Dikatakan SD Ibu Kandung lantaran sekolah tersebut merupakan sekolah tertua di Belanga bahkan ia lebih tua dibanding dengan sekolah dasar yang ada di kota kabupaten.cerita nenek saya yang diceritakan oleh ibu saya bahwa dulu sekolah itu peralihan dari sekolah rakyat (SR) ke sekolah dasar (SD).Â
Di sekolah itu sunguh lucu, seorang ibu guru yang juga wakil kepala sekolah suka membuli guru-guru baru apalagi jika ia guru pria. Bahkan jika berpapasan ia suka mencubit paha pak Par, terlihat di depan mata para siswa.Â
Mungkin awalnya begitu sehingga siapa yang merasa kuat dan berkuasa maka ia yang membuli yang lemah. Suatu waktu teman kelas satu saya Aci dikeroyok oleh Ricard dan kawan-kawannya dari dusun Belanga Timur lantaran merasa bahwa Aci badannya kecil mungil.Â
Jika saja ayah mereka pada tahu maka akan terjadi pembulian juga namun konteksnya beda yakni dengan main badik. Sebab itu anak-anak jarang pulang ke rumah jika saja ia korban pembulian.Â
***
Lonceng jam istirahat kedua berbunyi. Anak sekolah berlarian ke taman bunga, ke lapangan, di gerbang sekolah di bawah pohon ketapang, sebagian ke kolam belakang kantor sekolah.Â
Saya keluar belakangan, menyempatkan melihat papan info pengumuman setoran hafalan perkalian saya sudah sampai di mana, setoran hafalan surah pendek dan bacaan shalat sudah sampai di mana. Mulut teman-teman sebagian terisi es lilin layaknya mengisak es krim Mixue, es lilin yang bervariasi di jual di sekolah itu sekedar penjanggal perut menjelang jam pulang begitupun jajanan jalangkote (jajanan khas Sulawesi) yang sebagian dikunyah gurih oleh anak-anak sekolah lainnya. Saya hanya sibuk menguyah yah layaknya mengunyah padahal sedang menghafal surah pendek yang tidak sempat saya baca di rumah. Sebab setiap pulang sekolah selepas makan siang dan mengaji saya ke sawah atau ke kebun.
Rianto tiba-tiba menghampiri saya, brrruuuuk!!!!!! kepala saya terbentur ke papan info setoran hafalan setelah mendapat tendangan putar dari kaki kanannya. Ia memang jago Taekwondo, tendangan dwi chagi itu tepat mengenai batang leher kiri saya hingga terjatuh dan terlempar hingga mengenai papan tripleks pengumuman itu. Tak hanya sampai di situ rupanya ia mengangkat saya bersama rekan-rekannya sampai memukul perut, punggung, hingga ke bagian muka. Darah keluar dari mulut saya yang mungil itu, lalu menyusul muntah, muntahan bubur masakan pagi ibu saya. Rupanya Rianto telah menghancurkan upaya ibu saya yang telah bersusah payah mengenyangkan perut saya agar bisa bertahan hingga jam dua belas siang. Nasi bubur itu hanya bertahan pukul sebelas tepat jam istirahat kedua.
Entah kesalahan saya apa. Anehnya semua teman tak ada yang berani bersaksi apalagi membela saya depan sidang etik sekolah. Guru pun pada takut sama kebesaran tubuh Rianto dan geng Rianto yang ia pimpin di lorong tiga desa Belanga itu. Â Saya tidak bisa menjelaskan kronologinya kenapa saya dipukul dan seperti apa perwajahan kemarahan Rianto dari awal. Saya hanya sempat meraih badiknya di punggung kiri tapi ia ambil kembali. Andai saja saya berhasil mencabut badi itu dari gagangnya sebelum ia raih kembali bisa saja saya masuk penjara atau ayah saya yang menggantikan saya di penjara atas kelakuan saya. Tapi saat itu tidak ada pikiran penjara, hanya berusaha melihat, melindungi mata saya, kemaluan saya dari amukan Rianto. Sidang etik sekolah selesai tak ada hasil seperti pembelaan ke saya atau memberi sanksi atas penganiayaan Rianto kepada saya. Sekolah malah meminta saya agar tidak melapor kejadian ini kepada orang tua saya. Jika ayah ibu saya tahu pasti akan mendatangi rumah Rianto meskipun derajatnya di Belanga lebih tinggi dibanding dengan keluarga saya. Bisa saja ayah saya ke kantor polisi jika melihat luka memar, baju robek, gigi hilang satu (apalagi ini bukan gigi susu yang bisa terganti). Entah bagaimana menyembunyikan bekas luka yang tak bisa hilang begitu saja.
Rianto tidak pulang lewat jalan raya, ia bersama gengnya lewat sawah. On Firdaus mengejar Rianto, ia kesal hingga ingin balaskan dendam saya sebelum ayah saya mengetahuinya. Sebab akan terjadi perang antar keluarga, Rianto juga pada dasarnya memiliki hubungan kekeluargaan dengan keluarga saya. Om Firdaus memegang gagang badiknya, ia hampir kehilangan kendali saat menghampiri geng Rianto di pematang sawah belakang rumah. Untung saja kuda Om Firdaus kecicikan saat berantem dengan kuda lainnya, kuda-kuda berlarian hingga Rianto lari ketakutan bersama gengnya. Keduanya selamat, Om Firdaus hampir saja dipenjara seumur hidup jika badinya mengenai tubuh besar Rianto. Badik om Firdaus memiliki pamor yang baik. Rianto juga selamat dari injaran om Firdaus.
Saya hanya terdiam, mata saya memerah mengingat kejadian itu. Dua hari dua malam saya tidak balik ke rumah. Dua hari saya tidak ke sekolah juga, saya malu sama teman apalagi tak satupun yang membantu saya. Saya juga kesal sama guru-guru sekolah yang tak satupun memberikan pembelaan. Tubuh saya yang mungil ini terdiam di sudut kamar Om Firdaus, ia layaknya pahlawan dalam diri saya. Berani dipenjarakan demi membela yang lemah. Â Kakak dan adik saya datang menjenguk saya di rumah Om Firdaus. Kuharap ia tidka bercerita apa-apa kepada ayah ibu. Pastinya saya akan diminta berhenti sekolah dan dikirim ke rumah keluarga yang jauh. Ah aku tidak mau jadi babu di rumah keluarga saya, pasti saya jadi babu di rumah kelaurga ayah saya jika saya dikirim ke sana. Sebab itu hukuman bagi anak yang berhenti atau diberhentikan dari sekolah.
Terdengar kabar dari adik Rianto yang merupakan adik kelas saya, bahwa ia berhenti sekolah dan besok merantau ke Malaysia lewat jalur laut. Rianto bersama gengnya tak ada lagi yang datang ke sekolah. Sebab hanya Rianto bosnya, Rianto yang mengonkosi mereka. Terlebih jika Rianto berhasil jadi buruh di perkebunan sawit di Tawau.
Hari Ini adalah hari ketiga saya tidak pulang ke rumah, saya hanya mengurung diri di kamar Om Firdaus pahlawan saya. Saya tidak boleh sembunyi, saya harus pulang, saya harus ke rumah. Jika saya pulang dan mengatakan ke ayah saya kalau saya habis dianiaya oleh seseorang pasti saya di kurung di kamar, kaki saya diikat di lemari kayu sebagaimana kasus saya tahun lalu. Â Â
Lonceng berbunyi berkali kali memanggil anak sekolah yang berkeliaran hingga terdengar ke bilik rumah. Memang rumah saya yang menghadap lurus ke timur berhadapan dengan sekolah dasar ibu kandung itu, hanya ada lapangan sepak bola yang mengantarainya. Â Saya gemetaran, kaki saya dingin dan kaku. Kaki saya tidak bisa bergerak. Semakin bergerak, ikatannya semakin kencang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H