Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Diary

Asam Lambung

10 Maret 2023   13:42 Diperbarui: 10 Maret 2023   13:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asam lambung. Sumber Foto: kilas.co

Penyakit asam lambung tentu tidak asing lagi bagi kita. Pasalnya hampir setiap saat kita dengar orang-orang di sekitar kita mengalami gastroesophageal reflux disease (GERD) ini, bahkan diri kita sendiri yang sering mengalaminya. Baik karena faktor telat makan, stress, begadang, atau karena faktor makanan. Kondisi di mana ulu hati nyeri tentu menyiksa kita. Namun saya tidak bisa menjelaskan lebih detail terkait penyebab dari Asam lambung (aslam ) atau apalah namanya, terlebih memberi penjelasan terkait pengobatannya sebab saya bukan ahlinya. Pasti dokter lebih tahu kondisi tubuh seseorang dengan penanganan yang tepat dan obat yang pas.

***

Saat mendengar suara adzan dhuhur saya bergegas ke Masjid untuk shalat berjamaah. Di tempat wudhu, saat kaki tangan saya tersentuh air, tubuh saya gemetar, menggigil, meriang di tengah terik matahari. Saya mencoba menahan diri agar terlihat kuat. Sayapun ikut ibadaha berjamaah, sembari menahan tubuh saya yang lemah ini. Tak lama berselang saya menuju rumah sakit terdekat untuk memastikan apakah saya baik-baik saja atau saya sedang sehat bermasalah atau sakit serius. Sesampai di antrian petugas pun bertanya bapak sakit apa? keluhannya apa? Saya menceritakan apa yang sedang saya alami. 

Saya berada pada nomor antrian 97, sebulan lalu saya kurang lebih sama dengan nomor antrian 87. Kedua nomor antrian tersebut saya bawa pulang sebagai penyemangat bahwa kalau saya tidak boleh sakit dan baik-baik saja. Sebulan yang lalu awalnya hanya ke apotek terdekat diberi obat maag karena keluhan saya sariawan dan nyeri usus. Sayapun direkomendasikan ke RS kampus dan dimotivasi bahwa bapak sehat saja, hanya kurang istirahat dan kurang minum air putih. Hari ini pun saya ke RS kampus yang saya maksud tadi. Keluhan hampir sama cuman kekhawatiran saya hari ini lebih tinggi karena saya tubuh saya meriang di siang hari. Tibalah antrian saya untuk diperikas oelh ibu dokter di ruang poli umum 2. Saya berbaring dan dokter menindis perut saya (kiri, kanan, atas dan bawah). Tepatnya nyeri pada ulu hati, nyeri pada usus sebelah kanan atas dan kanan bawah. Apakah saya sehat saja dok? tanyaku kepada dokter.

Saya kembali duduk menghadap memastikan dengan nama dokter senior di hadapan saya. Namanya saya eja huruf demi huruf untuk memastikan apakah saya tidak butuh huruf. Ia melambaikan tangannya, mas! mas! silahkan ke apotek. Resep sudah saya kirim secara elektoronik sesuai dengan nomor antriannya. Apa masih ada keluhan lagi, masih ada yang ingin dikonsultasikan? kata-kata itu seperti mesin setiap kali kita berkunjung ke dokter. Layaknya di Indomaret dan Alfamart; Selamat datang selamat belanja, uang kembaliannya ingin didonasikan bapak/ ibu? kami ada diskon, silahkan tebus dua dapat tiga, sekalian isi pulsanya, selamat datang kembali. Namun kata-kata mutiara dokter tentu beda dengan rayuan iklan verbal para saudara kita yang sedang menjalankan perannya. Dokter menguatkan kita dengan kata-katanya. Saya katakan, dok! pada dasarnya saya khawatir saja sebab saya ada riwayat tipes. Saya ke sini ingin memastikan apalakah saya tidak kenapa-kenapa dok. Saya jauh dari keluarga, saya jauh dari istri dan anak. Saya ke sini sebelum mereka tahu lewat VC, muka saya pastinya pucat. Baik mas, baik pak! bapak sehat saja, hanya stress, bapak hanya butuh minum banyak air putih. Kondisi bapak hanya asam lambung yang naik tapi tidak terlalu parah sebab tidak sampai mual, muntah, pusing dan gejala lainnya.

Selepas dari apotek, saya terdiam seakan ingin melihat di dalam tubuh saya yang mungil ini. Ada apa di dalam tubuh saya ini. Apakah asam lambung itu selalu datang setiap pekan, haruskah saya selalu ke dokter konsultasi? Saya kemudian menarik nafas dalam-dalam, meresapi nafas saya (saya masih bisa bernafas dengan baik), merasakan perut saya, apakah masih bisa makan dengan baik, minum kopi, jajan. Mata saya terbuka sembari melihat kata-kata di dalam buku yang tersusun rapi, botol yang berisi air putuh tadi telah kusimpan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun