Kehadiran Artificial Intelligence (AI) sebagai teknologi keterbarukan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Kehadiran AI beserta perangkatnya tentu sangat membantu kebutuhan masyarakat saat ini khususnya yang berkaitan dengan teknologi.Â
Salah satu manfaatnya AI bisa mengarahkan kita bekerja efektif dan efisien. Baik dalam pekerjaan maupun dalam bidang akademik.Â
Namun tidak semua bekerja efektif dan efisien masuk kategori etika akademik di negara kita. Sehingga dampak AI khusunya ChatGPT dapat berpengaruh negatif bila kita tidak bisa memanfaatkannya ke hal baik.
Sebagai mahasiswa tentu tetap berpedoman pada pengajar atau dosen. Dalam artian ada hal-hal etis yang perlu dijaga agar tidak melakukan hal plagiarisasi.Â
Bila ini terjadi tidak hanya merusak etika akademik yang ada melainkan dapat merusak diri pribadi si pelaku.Â
Bisa saja ia berhasil melakukan penyelesaian tulisan dengan baik, namun dalam dunia akademik kita saat ini terdapat sistem atau mesin pelacakan plagiariasi yang disebut turnitin.Â
Turnitin ini digunakan sebagai salah satu indikator tingkat plagiarisasi si penulis dengal level persentase tertentu. Selain dari hal pembimbingan karya ilmiah misalnya terdiri dari dosen penanggung jawab bagi mahasiswa.
Pembimbing tersebut juga memahami batas-batas tertentu, misalnya sampai di mana penggunaan referensi dari google atau melalui ChatGPT.Â
Dalam dunia akademik kita  ada hal-hal yang sifatnya harus dipelajari langsung dari dosen pakar terkait ilmu tertentu. Seseorang kuliah lanjut untuk mempelajari keilmuan bukan hanya sekedar selembar ijazah, gelar dan status sosial akademik.Â
Meski kehadirian AI dengan perangkat ChatGPT saat ini hadir sebagai layanan teknologi untuk manusia. Namun hal tersebut memiliki batasan-batasan sosial dalam dunia akademik.Â