Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mirisnya Pengangguran di Indonesia dan Dilema Perguruan Tinggi yang Turut Menyumbang Angka Penggangguran

28 Februari 2023   11:14 Diperbarui: 28 Februari 2023   11:19 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pengangguran, sumber foto CNBC Indonesia

Pengangguran di negara kita yang semakin hari semakin bertambah menjadi PR bersama. Sejak menaker Ida Fauziyah mengumumkan angka pengangguran di tahun 2022 sungguh miris rasanya. Terdapat angka 12 persen lulusan perguruan tinggi yang menganggur dari 8,4 juta total pengangguran. Melihat persentase angka tersebut, perguruan tinggi turut menyumbang angka tinggi. Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Kenapa perguruan tinggi tidak bisa melahirkan sarjana unggul dan dapat diterima bekerja atau sebaliknya menciptakan lapangan kerja?

Data BPS periode Agustus tahun 2022 menunjukkan bahwa angka pengangguran dari lulusan sarjana berjumlah 673,49 ribu atau 7,99 % dari total pengangguran dan 159, 49 ribu atau 1,89 % dari total pengangguran yang ada di Indonesia. 

Menaker dan Mendikbud menakar bahwa terdapat miss link dan match antara para lulusan dan lapangan pekerjaan. Kedua, adanya ekspektasi gaji tinggi sehingga daya serap dari fresh graduate di lingkungan pasar kerja yang menjadi pengaruh sehingga beberapa di antara mereka masih memilih menganggur atau sedang menahan diri untuk bekerja. Ketiga, kurangnya orientasi mahasiswa terhadap kewirausahaan dan job creating pada saat kuliah atau sebelum diwisuda.

Rasanya cukup aneh bagi masyarakat umum bahwa masyarakat dengan sengaja menyekolahkan anak mereka mulai dari level dasar hingga di perguruan tinggi. Lepas di perguruan tinggi malah jadi pengangguran. Apa yang salah sebenarnya dan di mana letak permasalahan yang urgen. Apakah di perguruan tinggi dengan sistem perkuliahan, program studi, kurikulum, mitra perguruan tinggi, atau ada pada lulusan. 

Di sisi lain perlu dipertimbangkan bahwa pihak terkait dalam hal ini pemerintah beserta Mendikbud tidak serta merta memberikan izin pembukaan program studi yang tidak dibutuhkan lagi alumninya di kemudian hari. Melihat hadirnya kecerdasan buatan AI, banyak menggantikan tenaga manusia. BUMN dan perusahaan swasta lainnya tidak menyerap lulusan prodi tertentu. Pada akhirnya penyelenggara pendidikan tinggi tidak merasa rugi dalam mempersiapkan ilmuwan mereka. Pemerintah, Kemenaker, kemendikbud, dan penyelenggara perguruan tinggi perlu  bersama-sama memikirkan peluang sarjana kedepannya. Misalnya pembukaan prodi berkaitan dengan start up, AI, entrepreneurship, dsb. Sehingga dalam penerimaan CASN/ CPNS, karyawan BUMN, dan perusahaan swasta ada kesinambungan antara kebutuhan penyerap tenaga kerja dengan penyedia. 

Sejauh ini perguruan tinggi umumnya sudah menjalankan tugasnya dengan baik meski belum sempurna. Pertama sistem yang berjalan untuk semua perguruan tinggi mengikut pada sistem yang telah diatur oleh pemerintah baik melalui regulasi maupun melalui kontroling dari menteri pendidikan yang membawahi perguruan tinggi. Terdapat program kampus merdeka dengan berbagai item di dalamnya modul Nusantara, magang bersertifikat, pertukaran mahasiswa, dosen magang, beasiswa dsb. Program tersebut bisa dikata baru dua tahun berproses efektif dan alumni mereka kebanyakan baru akan wisuda di tahun 2023, 2024, atau di 2025. 

 Perguruan tinggi juga bukan hanya sekedar menyiapkan tenaga kerja. Tidak seperti BLK, short course, dan lebih kepada skill semata. Melainkan perguruan tinggi memiliki dua sisi yakni mencerdaskan generasi untuk menjadikan sarjana sebagai ilmuwan, dan untuk dunia kerja bagi yang ingin bekerja. Tolak ukur bekerja pun sebetulnya perlu ditinjau bersama sama.

Di era digital saat ini kita bisa bekerja dari rumah, berpenghasilan dari handphone. Sehingga menurut saya indikator pengangguran sarjana juga perlu ditinjau secara metodologis agar tidak menjebak ilmuwan muda kita sebagai sarjana pengangguran. Di jaman saya banyak yang bercita cita toh hanya pada level sekolah hingga perguruan tinggi setelah itu mereka ingin kembali bertani. Tujuan mereka sekolah agar berilmu bukan berijazah. Bahkan banyak mengatakan sekolah itu candu bagi orang orang yang cinta ilmu pengetahuan pada akhirnya memilih sekolah lanjut, dsb. Tipikal seperti ini mereka lebih cenderung Bekerja sebagai penggerak di masyarakat tanpa label Pekerjaan di tangannya.

Label pengangguran tidak mesti diukur dari pekerjaan kantoran, ASN, BUMN, perusahaan, dsb. Label itu di jaman sekarang terkesan idaman mertua. Hal perlu dipikirkan bersama adalah bagaimana memajukan negara kita dengan membekali generasi agar siap tampil di era teknologi dengan cara menciptakan panggung sendiri. Bahkan generasi Z kedepan mereka lebih edan lagi tidak ingin kerja kantoran terapi ingin jadi Youtuber, gamer, traveler, influencer, content creator, inisiator, entertainer dan sebagainya. Di mana aktivitas bisnis tersebut tidak masuk sebagai kategori pekerja tetapi mitra. Hal ini juga tidak bisa diklaim sebagai kelas pengangguran. Sebab itulah dunia anak jaman sekarang. 

Tugas kita melayani generasi dengan mempersiapkan lahan bagi mereka yang bukan sawah, kebun, kantor, dan sejenisnya melainkan fasilitas sosial berupa ruang di masyarakat, ruang di peribadatan, ruang Pendidikan yang baik. Sehingga mental mereka kuat dalam menghadapi eranya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun