Di beranda rumah, dekat jendela, di samping pintu tangga naik, di sana aku selalu duduk bersama Ayah, ibu, kakak, dan adik, di sore hari menjelang magrib, membicarakan masa-masa yang akan datang, atau kisah kisah yang telah lalu, bisa saja itu adalah cara ayah ibuku mendongeng, sebab mereka bukan seniman atau sastrawan apalagi budayawan, mereka hanya keluarga petani padi yang juga sekaligus ayahku sebagai pemanjat kelapa.
Ayahku selalu memulai pembicaraan sembari memuji sepupu sepupunya yang sudah duluan menikmati hidup di kota, tak pernah sedikitpun ia memuja anak anaknya terlebih diriku yang selalu polos di hadapannya tanpa ada kelebihan yang diwarisi atau keluarbiasaan yang aku cipta sendiri dari anak-anak, remaja hingga dewasa, sebenarnya aku ingin menjadi pewarisnya sebagai pemanjat pohon kelapa yang terkenal di kampung belanga.
Ibu sesekali menyela cerita, sembari tangan kanannya memegang kepala kami bergantian satu persatu, tangan kirinya tak lepas di bahu kanan ayah, ia meminta ayah agar tidak selalu membanding membandingkan anak sepupu sepupunya dengan anaknya sendiri.Â
Setiap hari sepulang dari Sawah, melewati kuburan di kiri kanan jalan, di antaranya ada leluhur kami, semasa kecil sebelum pindah rumah, kami sangat takut dengan kuburan, padahal ia membuka diri siapa saja yang datang, tangan kanan dan bahu kanan selalu miring melewati kuburan sebagai bentuk penghargaan pada orang yang telah duluan.
Rumah kami hampir saja di kelilingi kuburan, di belakang arah sawah, di samping kiri barat daya, samping kanan selatan, kuburan terbagi bagi atas jasa, strata, atau kemampuan anaknya, rumah kami berdiri panggung ke arah timur berhadapan dengan lapangan sepak bola dan sekolah ibu kandung Pertiwi.
****
Hanya sore hari waktu kami bertemu dengan anak seusia, berlarian ke ladang, berenang di sungai yang dalam, semakin dalam semakin menyelam. Sepulang langsung main layang-layang sesekali dibiarkan main bola mainan.
Kembali magrib, berlima kami makan malam, hidangan ibu sangat mengasyikkan, kadang menyajikan ikan, telur, atau kerang kerangan.
Ayah ibu setiap menjelang tidur malam, selalu saja memberi kami wejangan, shubuh sebelum fajar, selalu ada hidangan untuk sarapan,Â
***
Kini hanya dibayang bayangi kenangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H