Pengungsi adalah orang yang mengungsi dalam artian sekolompok orang yang lari dari negara asal mereka karena sesuatu yang menganjam jiwanya. Mereka mengungsi karena adanya konflik yang berkepanjangan di negaranya. Mereka datang dari negara lain ke negara tertentu untuk mencari keamanan. Umumnya pengungsi dari negara-negara berkonflik, berada di bawah lembaga UNHCR (United Nation High Commicioner Refugee) atau komisioner tinggi PBB untuk pengungsi. Pengungsi berbeda dengan Imigran. Meski sama-sama meninggalkan negara mereka ke negara tertentu tetapi pengungsi sifatnya tentatif dalam artian jika di negara mereka aman maka mereka sudah bisa kembali atau bahkan bisa meminta suaka hingga bermohon untuk menjadi warga negara tempat ia mengungsi sementara.
Imigran merupakan WNA atau orang yang datang dari negara lain dan tinggal menetap di suatu negara yang dalam hal ini adalah negara tujuan. Sebaliknya bisa saja WNI yang datang ke negara lain untuk menjadi warga tetap sebagai WNA. Beberapa tahun terakhir kita kedatangan WNA yang merupakan kelompok Imigran, namun Indonesia hanya sebagai persinggahan sementara. Negara tujuan kelompok imigran yang ada di negara kita cukup beragam antara lain Australia, Amerika dan Kanada. Di negara tujuan yang akan mereka tuju, tentu melakukan permohonan secara resmi agar di terima sebagai warga negara yang sah. Dalam artian mereka juga meminta suaka sama halnya dengan pengungsi. Nah, agar dapat diterima sebagai warga negara di negara tujuan, tentu dengan berbagai persyaratan. Sederhananya sama halnya orang dari luar negeri ke Indonesia dan ingin menjadi warga negara Indonesia dan tentu harus mengurus KTP dan Kartu keluarga. Namun sebelum mengurus KTP/ KK ada beberapa proses administrasi yang harus dilewati. Demikian halnya Imigran atau kelompok Imigran yang saat ini berada di negara kita. Mereka masih berstatus izin menetap sementara. Sehingga hak-hak di Indonesia tidak sama dengan WNI lainnya misalnya mereka tidak bisa sekolah di sekolah formal, mereka tidak bisa berkerja layaknya karyawan tetap, tidak boleh menikah dengan WNI "secara legal", dan sebagainya.
Kedua kelompok tersebut harus meninggalkan negara mereka karena alasan tertentu misalnya bencana alam dan juga bencana akibat kemanusiaan. Bencana alam misalnya banjir, longsor, badai, kebarakaran, kekeringan, dan sebagainya yang memungkin mereka harus meninggalkan negaranya. Sementara bencana kemanusiaan bisa saja perang dan konflik antar etnis, agama dan sebagainya.
Pengungsi datang ke Indonesia karena adanya kemungkinan tidak bisa hidup di negaranya sehingga mereka harus mencari negara yang bisa menampung mereka sementara waktu. Beberapa pengungsi Rohingya dari Myanmar masih bertahan di Indonesia termasuk beberapa di antaranya di kota Makassar. Hingga saat ini mereka masih terus mempertanyakan nasib mereka yakni nasib status kewarganegaraan mereka di Negaranya atau bahkan di Indonesia. Tak sedikit di antanya sudah kawin mawin.
"Tahun 2018, seorang pengungsi Rohingya mendatangi penulis agar mereka bisa berteman, mendapat ruang, dan sebagainya. Tidak sengaja mereka memperlihatkan upayanya kepada saya yakni melakukan berbagai hal demi bertahan hidup di kota Makassar. Di antaranya bekerja secara sembunyi-sembunyi atau dengan cara menulis perjalanan mereka di media online dan mereka kemudian meminta bayaran untuk sekedar uang jajan. Tentu tulisan-tulisannya dapat kita baca di media online yang berkaitan dengan pengungsian mereka. Namun tidak dalam berbahasa Indonesai melainkan berbahasa Inggris."
Pada dasarnya proses pengungsian mereka tentu secara resmi, yang berbeda dengan kelompok Imigran adalah kelompok imigran hadir secara tiba-tiba di negara kita lantaran konflik di negara asal mereka dan negara yang mereka tuju juga mengalami situasi politik sehingga untuk beberapa tahun tidak bisa menerima kelompok imigran secara besar-besaran. Konflik pada beberapa negara di Timur Tengah berdampak pada peningkatan jumlah Imigran. Negara Indonesia merupakan salah satu negara pilihan bagi kelompok Imigran. Sejak akhir tahun 2014 jumlah imigran selalu bertambah. Apalagi dengan adanya MoU antara pemerintah setempat (sebut Walikota Makassar, 2015) dengan pihak IOM yang memberikan akses bagi kelompok imigran untuk tinggal sementara. Sehingga setiap tahunnya terus bertambah hingga di tahun 2019. Â Mereka terus berdatangan ke Indonesia dengan jalur laut, dengan alasan terdampar atau tidak bisa lanjut ke negara tujuan. Di sisi lain yang memenuhi persyaratan sebagai warga negara di negara tujuan sangat sedit pertahunnya. Selain kota Makassar, Kota persinggahankelompok imigran ini antara lain di Jakarta, Medan, Kupang, Pontianak dan Bogor.
di kota Makassar sendiri jumlah mereka berkisar 1.900 jiwa (Rafsanjani, 2019). Mereka berasal dari negara yang berbeda namun pada umumnya mereka berasal dari negara Timur Tengah dan didominasi dari Imigran asal negara Afganistan (Rijal & Putri, 2019). Kelompok usia mereka juga beragam mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua (berkeluarga). Ada juga di antaranya remaja yang masuk kategori imigran di bawah umur tanpa pendampingan orang tua atau disebut Unaccompanied Migrant Children (UMC). Keberadaan mereka di Indonsia saat ini tentu masih dalam pengawasan lembaga atau organisasi terkait misalnya UNHCR, IOM, dan lembaga sosial pada masing-masing daerah. Mereka juga masuk sebagai naungan lembaga sosial kita karena fasilitas tempat tinggal mereka diurus dan ditangani oleh dinas terkait yakni rumah persinggahan sementara dan juga shelter.
Permasalahan kemudian yang muncul adalah kehadiran pengungsi Rohingya dan Imigran turut mewarnai heterogenitas masyarakat setempat. Heterogenitas ini merupakan sesuatu yang tidak diprediksi. kelompok pengungsi dan imigran, keduanya tidak dapat berbahas Indonesia dengan baik. Di sisi lain masyarakat kita juga tidak bisa berbahasa Urdu, Burma, atau sejenis bahasa yang mereka gunakan. Berbeda dengan perpindahan penduduk dalam negara sendiri, kita memiliki kedekatan bahasa, budaya, dan agama. Jika datangnya misalnya hanya puluhan tentu bisa diatasi dengan baik yakni dengan pelatihan kebahasaan dan keterampilan lain agar kelak mereka dapat mandiri atau bisa bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam menghasilkan pundi-pundi keuangan. Saya kira perhatian dari lembaga yang menangani perlu lebih serius lagi demikian juga pemerintah kita segera membantu bagaimana kedua kelompok tadi dapat mendapatkan hak kewarganegaraan mereka.
Sumber bacaan
Rafsanjani. (2019). IMIGRAN IRAN DI KOTA MAKASSAR. Eprints.Unm.Ac.Id. http://eprints.unm.ac.id/13687/1/JURNAL IMIGRAN IRAN DI KOTA MAKASSAR-.pdf
Rijal, A. S., & Putri, A. M. J. (2019). Determinants of English as language choice among Unaccompanied Migrant Children (UMC) in Makassar, Indonesia. International Journal of Humanities and Innovation (IJHI), 2(2), 1--7. https://doi.org/10.33750/ijhi.v2i2.36