Beberapa tahun lalu saya bekerja di salah satu perusahaan marmer. Sebut perusahaan C yang merupakan perusahaan milik warga Italia. Beberapa pemilik saham lainnya merupakan warga Indonesia. Awal masuk kerja diminta oleh salah satu insinyur tambang yang juga merupakan bagian pertambangan. Harapan saya bekerja sesuai dengan skill saya sebagai tutor bahasa Inggris kala itu yakni interpreter. Harapan tersebut ternyata sangat jauh melenceng dari prediksi awal.
Minggu pertama bekerja pasca interview, saya bersama sembilan orang lainnya masih menjalani proses adaptasi dan masa percobaan. Selama kurang lebih tiga hari ditempatkan di bagian personalia (Kantor SDM). Setelah seminggu berlalu saya dikirim ke pabrik lantaran di sana butuh operator mesin pemotongan marmer ukuran kecil yakni 49 cm dan 40 cm (cutter machine). Â Sedikit lega karena sudah dianggap sebagai karyawan tidak tetap dengan gaji 180 -320 di bulan bulan awal masa kerja. Gaji tersebut saya anggap sebagai gaji yang sah sah saja karenanya ijazah saya kala itu di tahun 2000 hanya tamatan SMA. Setahun berlalu gaji naik berkala 30 ribu hingga 50 ribu.
Masuk di tahun ke dua saya pun mulai rasa jenuh apalagi jam kerja sejak tahun pertama semester pertama selalu bergiliran yakni shift 1 masuk pukul 7.00-14.00, shift 2 masuk pukul 14.00- 11.00, dan shif 3 masuk pukul 11.00-07.00. Demikian bergulir setiap hari Sabtu selama kurung waktu empat tahun saya jalani. Pada tahun 2004, terjadi demo besar-besaran karena kenaikan gaji hanya naik puluhan ribu rupiah sementara jam kerja seperti tadi.Â
Kerja di perusahaan marmer yang dipimpin oleh orang asing seperti dijajah kembali. Serasa ingin berkata dan angkat tangan, pekerjaan di masa itupun sangat sulit. Hingga pada akhirnya saya memberanikan diri mengajukan pengunduran diri lantaran sudah tidak mampu dan alasan kesehatan yang utama. Dengan diguyur debu batu setiap hari, kerja shift 3 dalam sebulan 2 -3 kali membuat seluruh badan tak berdaya.
Kerja shift 3 di perusahaan marmer dengan target produksi tinggi sangat berbeda kerja di tempat lain yang bukan berhadapan dengan mesin pemotong dan baru. Niat ingin kembali jadi petani juga tak mendukung dengan lahan yang minim di kampung halaman. Ingin berwirausaha juga tentunya harus ditopang dengan modal uang dan modal sosial. Sebagai anak tani hanya bisa gigit jari. Pada akhirnya shif 3 membuat saya kalah dan memiilih buang diri jadi pengangguran sementara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H