Hermeneutika sebagai Epistemologi
Secara etimologis kata 'hermeneutik'/ hermeneutika/ hermeneutics, berasal dari kata kerja Yunani hermenuein berarti mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata. Kata benda hermnia diterjemahkan sebagai penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini diasosiasikan pada Dewa Hermes sebagai seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.Â
Berarti demikian dimaksudkan sebagai upaya menafsirkan, menerjemahkan, sehingga hermeneutika dapat dimaksudkan sebagai sesuatu usaha yang relatif belum jelas, gelap ke sesuatu hal jelas dan terang. Menurut Hardiman (2003, p.37) juga demikian bahwa di dalam mitologi Yunani ada tokoh dikaitkan namanya dengan hermeneutika yaitu Hermes, ia bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Menafsirkan perintah dewa di dalam kitab suci kepada manusia, namun secara luas hermeneutika digunakan sebagai pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat autotriatif seperti dogma dan kitab suci. Hardiman (2003) menambahkan bahwa aktivitas dalam menginterpretasi teks-teks kitab suci tersebut merupakan sebuah seni dan science.
Dari kata kerja hermenuein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggirs "to interpret", yang membentuk makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan dari bahasa lain.Â
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti harus mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalihbahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.Â
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri.Â
Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya, dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.Â
Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Sehingga penafisr tidak terikat dengan ruang penulis teks yang ditafsirkan, namun hasil teks sangat berkaitan erat dengan situasi penafsir baik secara sosial.Â
Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya.
Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis Werner, ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga yang dimaksud Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab "suci" agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H