Asumsi dasar fenomenologi dan hermeneutika
Asumsi dasar fenomenologi
Menurut Mark P. Orbe melalui Encyclopedia of Communication Theory (Littlejohn & Foss, 2009: 751-752), fenomenologi setidaknya memiliki 5 (lima) asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut diantaranya; pertama adalah penolakan terhadap gagasan bahwa para peneliti dapat bersikap objektif terhadap fenomena yang diteliti atau kepada tineliti.
Para ahli fenomenologi percaya bahwa pengetahuan mengenai esensi hanya dapat dilakukan dengan cara mengasah berbagai asumsi yang telah ada sebelumnya melalui suatu proses, proses di dalam fenomenologi dikenal dengan istilah epoche. Epoche sendiri merupakan sikap netral peneliti terhadap suatu obyek kajian atau tineliti.
Fakta fenomenologi bukan lagi fakta received view melainkan fakta yang sudah dimaknai, sudah interpretif (oleh subyek bersangkutan), olehnya peran interpreter yang baru tidak menutut kemungkinan memiliki interpretasi yang sama atau bahkan melahirkan pengembangan dari interpretasi sebelumnya. Asumsi kedua adalah bahwa pemahaman yang mendalam terhadap sifat dan arti dari hidup terletak pada analisis praktik kehidupan yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya. Dalam fenomenologi orang mengamati langsung pada konsep ide dan nilai (values).
Asumsi ketiga adalah eksplorasi manusia yang bertentangan dengan individu adalah hal sangat penting dalam fenomenologi. Manusia dipahami melalui berbagai cara yang unik sebagaimana mereka merefleksikannya melalui keadaan sosial, budaya, dan sejarah kehidupannya.
Asumsi keempat adalah bagaimana manusia dikondisikan dalam sebuah proses penelitian. Fenomenolog menjadikan kesadaran subyek dan kesadaran obyek (tineliti) sebagai kesadaran kolektif. Para peneliti fenomenologi tertarik untuk mengumpulkan berbagai pengalaman sadar manusia yang dianggap penting melalui intepretasi seorang individu dibandingkan dengan pengumpulan data secara tradisional.
Asumsi kelima berkaitan dengan proses. Fenomenologi adalah sebuah metodologi yang berorientasi pada penemuan yang secara spesifik tidak menentukan sebelumnya apa yang akan menjadi temuannya. Ia berfokus pada proses pencarian makna atas fenomena.
Asumsi dasar hermeneutika
Ciri utama hermeneutika secara umum mengandalkan verstehen; pertama, metode ilmu sosial yang dianggap paling cocok untuk menghasilkan pengetahuan interpretative adalah yang berdasarkan pada verstehen. Cara pengembangan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia menempatkan diri dalam situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan memahami pikiran, perasaan, cita-cita, dorongan, dan kemauannya. Kedua, kalau ilmu alam dikatakan bersifat “nomologis”, yakni bertujuan menghasilkan sejenis “penjelasan” (explanation) yang megungkapkan hukum alam (natural laws) yang umum atau universal, yang memungkinkan penurunan metode matemtatis, ilmu sosial seharusnya bersifat “hermeneutic”, yaitu memberikan “pemahaman” (understanding) yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dan mendalam (in depth) tentang gejala yang menjadi objek studinya.