Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Literasi Kita

13 Januari 2023   18:30 Diperbarui: 17 Januari 2023   13:02 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perjalanan Evolusi Literasi Hingga Lahirnya Teks-teks Bebas; Andi Samsu Rijal

Jika berbicara evolusi tentu kita sama-sama diingatkan pada Charles Darwin seorang naturalis, peneliti hingga dinobatkan sebagai ilmuwan dunia berkat teori evolusi tersebut. Meski evolusi tidak selalu otentik milik Darwin semata namun Erasmus, kakeknya adalah juga seorang ilmuwan amatir yang lebih dulu menduga adanya Evolusi bahkan Aristoteles juga merupakan filsuf yang memiliki hipotesis atas Evolusi. 

Apa yang telah ditulis oleh Darwin tentu mengalami evolusi pada teori evolusi itu juga, sebagaimana Eko Wijayanto bertutur bahwa Darwin sendiri sangat takut atas apa yang ditulisnya, teori Darwin dianggap penghinaan terhadap agama. Mungkin begitulah perjalanan evolusi kebudayaan yang ditorehkan oleh orang-orang tertentu dan untuk orang banyak bahwa tidak selamanya berjalan mulus. 

Namun berkat teori Darwin tentu membuat pertanyaan besar akankah kita seperti teori tersebut, maka hal tersebut membuat kita bangkit, bertanya tanya lalu membaca kemudian menulis.    Darwinian menanggap bahwa apa yang dilakukan oleh Darwin adalah pengamatan yang teliti yang disertai dengan bacaan bergizi tinggi sehingga melahirkan "the origin of species".

Evolusi juga sering dilekatkan pada sebuah perjalanan kebudayaan, dimana Borofsky menyebutnya sebagai kecenderungan sentrifuga atau sikap manusia yang tidak menentu jika dihadapkan pada persoalan bagaimana gejala sosial-budaya dapat dianalisis dan diinterpretasi secara tepat agar yang dilakukan itu adalah tidak tepat. 

Sehingga dari mainstream tersebut melahirkan dua kemungkinan akan tetap pada ketakutan atau mencari jalan keluar ketakutan tersebut. Apa yang dilakukan oleh penulis karya sastra dari masa ke masa dari genre ke genre adalah sebuah evolusi literasi. 

Hasil karya sastra penulis tersebut merupakan sebuah evolusi pengetahuan kebudayaan dan juga perjalanan hidup yang tidak mesti menggambarkan dirinya ia hidup, proses hidup serta romantisme kehidupannya.

Tetapi berupaya mengkisahkan sebuah peristiwa di masa penulis itu ada baik dalam bentuk rekaan peristiwa langsung maupun melalui pengalaman perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, pengalaman membaca, menyimak, menonton dan sebagainya.

************************

Seorang Budayawan Sul-Sel (Alwy Rachman) menyebut bahwa dalam literasi saat ini setidaknya sudah melewati berbgai fase. Dia menyebut ada tiga fase yang sudah kita lalui yakni cakrawala atau era amarah akan tetap ada dan akan kemana mana menyebar, sebut amarah sebagai mitos merefleksi diri menjadi teks dongeng. 

Amarah kita juga demikian yang terkadang merefleksi menjadi sebuah catatan dan bahan renungan. Fase kedua adalah, membuka tabir atau kelanjutan dari revolusi industri yang secara empiric dapat dijumpai dari hasil evolusi ke revolusi, misalnya revolusi industry I, II, III hingga saat ini revolusi industry ke IV. 

Dalam literasi kita sebut sebagai era cyber dan tentu banyak terminology yang melekat jika berbicara cyber sebut misalnya cyber literacy, cyber society atau era digital.

Dengan era tersebut semakin membuat zaman ber-erupsi karena jarak sosial semakin renggang namun jarak komunikasi media sosial semakin dekat dan nyata. 

Hubungan anak dengan saudaranya, anak dengan orang tuanya, sanak family, relasi pertemanan dsb kini semakin renggang dan lebih terkoneksi dengan alat komunikasi berupa system cyber tadi. Fase ketiga adalah, literasi tentang otak, dimana selalu menjadi perdebatan antara otak kiri atau otak kanan yang mendominasi dan yang akan keluar jadi pemenang.

*******

Hadirnya bacaan-bacaan dari hasil karya sastra (genre apapun) pada dasarnya merupakan hasil perkawinan dari tiga fase perjalanan literasi tadi. Beberapa penulis karya sastra kenamaan terkadang mencontohkan kisah melalui tokoh-tokoh yang ada sebagai upaya mengaktualisasikan amarah. Amarah terhadap pergolakan filsuf yang merasuki penulis. Pengalaman membaca karya sebelum karya penulis sesungguhnya adalah bentuk mengawinkan amarah tersebut dengan pemikiran pemikiran actual dan realistis.

Saya menyebut teks tersebut mengandung literasi dan melahirkan karya sastra. Literasi saya artikan sebagai sebuah aktifitas pengetahuan dan kebudayaan atas penafsiran dan pengkondisian penafsiran tersebut kedalam sebuah bahasa tulis.  Alwy Rachman membagi literasi kedalam tiga jendela diantaranya Jendela Cakrawala "Era Amarah, jendela tabir lanjutan revolusi industry dan jendela ketiga literasi tentang otak kanan.

Menurut Jacques Derrida bahwa kebenaran kebenaran dalam teks bisa dibongkar menjadi suatu kebenaran baru (being). Munculnya formalism rusia dan strukturalisme linguistik, mencoba mengusik objek ilmu sastra dari akar-akarnya. Lalu timbul keresahan para kritikus agar karya sastra hadir sebagai ranah keilmuan dan filsafat tidak hanya bertaut pada teks yang berdiri kokoh di kalangan seniman tanpa ada yang menopangnya. 

Kritik sastra kemudian menjadikan dirinya sebagai medium antara penulis, karya dan pembaca juga pada masyarakat umum. Antara penulis karya dan atas karyanya menjadikan bahasa sebagai transformasi ide dan gagasan. Olehnye pengetahuan bahasa sangat diperlukan oleh penulis dalam menghadirkan gagasan dan rekaman pengetahuannya, begitu juga dengan pembaca membutuhkan bahasa dalam mereprsentasi atas karya yang lahir.

Salah satu kritukus Sastra Jacques Derrida, dalam menafsirkan teks-teks filosofis ia kemudian mencari kelemahan teks tersebut dengan tujuan ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa tidak ada makna teks yang stabil dengan kata lain fleksibel. Atas penafsiran tersebut maka hukumnya sah sah saja bagi semua kalangan dalam menafsirkan teks teks. 

Termasuk hasil karya sastra saat ini merupakan hasil penafsiran atas teks teks yang lahir yang telah dikonsumsinya sehingga melahirkan teks teks bebas pula. Namun dalam penafsiran atas teks dalam karya tersebut tetap pada rambu-rambu keilmuan tertentu yang tidak bebas sebebas bebasnya dalam artian yang membentuk lahirnya penafsiran adalah adanya framing pengetahuan teori-teori sastra tertentu dan teori keilmuan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun