Sad boy adalah terma yang melekat pada salah satu remaja asal Gorontalo. Entah siapa yang pertama melekatkan terma tersebut dan dengan alasan apa. Meskipun dirinya sendiri yang melekatkan terma tersebut, bukan berarti kita seenak jari tangan  menjerumuskan si objek secara berkelanjutan pada akun media sosial kita. Ini bukan terkait persoalan Fajar sebagai objek permasalahan semata atau giliran beliau yang sedang ditimpa sesuatu peristiwa sosial. Ini terkait etika kita dalam berinteraksi dengan sesama mahluk tuhan. Interaksi kita tidak hanya di dunia maya tetapi kita akan berinteraksi dalam waktu lama di dunia nyata.
Melihat beberapa unggahan pengguna media sosial yang dengan sengaja menggaet Fajar dalam even kolaborasi di Podcast, acara TV show dan sebagainya. Saya kembali memosisikan diri saya, anggap saja sebagai family dia atau bahkan memposisikan diri ini sebagai dirinya. Paling tidak saya atau kita berada pada circlenya dia. Kemudian berfikir persepsi netizen dan masyarakat sosial tentang kita seperti apa? Saya melihat dari peristiwa yang dialami oleh Fajar sebagai remaja yang sedih karena ditinggal pacar atau semacamnya. Bahwa ada upaya orang-orang tertentu untuk menjadikannya sebagai konten "menarik" dalam setiap pembicaraan dan unggahannya. Terlepas yang bersangkutan sepakat dan menerima imbalan atau bahkan akan mendapat sesuatu yang lebih dari itu. Sebut saja pacaranya kemudain akan balikan. Keduanya  kemudian ikut terjerumus dengan perangkat popularitas semu. Kata berterus terang pada media tertentu  akan berbeda pada psikologi individu saat berterus terang di hadapan yang bersangkutan. Kemudian pacarnya dan individu lain akan merasa iba. Sebaliknya yang tidak menahu persoalan bisa saja menghujat atas jawaban yang tidak berterima dengan pertanyaan dan sebagainya.
Dalam kehidupan di dunia nyata tentulah berbeda di kehidupan sosial. Kita tidak hanya hidup di media sosial atau sebaliknya di era teknologi komunikasi ini kita tidak hanya hidup di dunia nyata semata. Seorang pakar dalam bidang ilmu bahasa David Crystal pernah berkata bahwa perilaku dan bahasa akan berubah dalam situasi komunikasi pada media teknologi. Ungkapan ini lahir kurang lebih lima tahunan sebelum media sosial Instagram hadir di smartphone kita. Bahasa si Fajar apa adanya dalam lingkungannya, belum tentu berterima dengan baik pada lingkungan multilingual online.
Hidup kita saat ini terekam dengan baik atas media yang kita gunakan. Kita sebagai individu punya famili, kita punya lingkungan sosial, kita punya masa depan meskipun itu berapa tahun ke depan entahlah. Hampir semua mata dan telinga yang menyaksikan tayangan kekeliruan si Fajar dalam menanggapi pertanyaan dari host akan menertawakan dan melanjutkan dengan social bulying. Apakah ada yang pernah bertanya kenapa dengan dia, bapak dan ibunya kabarnya saat ini seperti apa, lingkungan tempat ia lahir dan tumbuh seperti apa, di sekolah tempat ia menimba ilmu ada guru yang mengajarinya hingga institusinya bisa saja ikut termakan. Jika semua hal yang terkait tersebut merasa bahwa mereka berada pada circle si Fajar tentu mereka juga akan merasa seperti apa yang dirasa oleh orang yang punya hati.
Kita semua yang bermedia sosial memiliki kepribadian ganda. Saya misalnya akan merasa humble pada media sosial saya, tetapi di masyarakat saya akan merasa seorang ayah dari dua anak yang tidak se humble di media sosial. Demikian pengguna media sosial lainnya. Si Fajar pun terkadang berada pada dua dunia yang tidak bisa ia imbangi dengan baik. Kapan ia sebagai Fajar anak dari Ayah dan Ibunya, kapan ia sebagai Fajar warga netizen lainnya. Fajar yang sedang jatuh cinta dan putus secara online.
 Terma Sadboy akan menimpa bagi siapa saja, pilihan dan sikap kita ada pada diri kita. Apakah juga kita akan dieksplotasi atau ikut mengeksploitasi nasib individu tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H