Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenaikan Iuran BPJS: dari Struktur Bahasa hingga ke Wabah Psikis Baru

22 Mei 2020   07:15 Diperbarui: 22 Mei 2020   10:12 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa sebagai alat komunikasi, merupakan elemen penting dalam kehidupan sehari hari sebab digunakan dalam berinteraksi antar satu sama lain, namun selain itu bahasa ternyata dapat  mempengaruhi pola pikir seseorang. Dari pola pikir tentu mempengaruhi perubahan dan tingkah laku hingga ke psikologi. 

Struktur bahasa tentu tidak hanya kata, kalimat dan paragraf namun juga wacana. Wacana sebagai struktur bahasa dan satuan makna yang sangat erat kaitannya dengan konteks yang menyertainya. Termasuk kenaikan iuran BPJS menjadi wacana dan beberapa kisruh lainnya yang menyertainya. Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Wacana kenaikan iuran BPJS yang sedang naik rating di media sosial dan menjadi perbincangan hangat dalam lingkup rumah tangga hingga menjadi tanda tanya besar kenapa iuaran BPJS dinaikkan, kenapa terlalu cepat naik sebelum badai pandemic corona berlalu. Belum lagi angka pasien terkonfirmasi postif Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) semakin naik dan entah kapan menurun. 

Hampir semua Negara berkembang yang terdampak covid 19 mengalami keadaan terpuruk, termasuk Indonesia. Aktivitas perekonomian berjalan satu arah dan terkesan bertahan, kita tak mampu menyerang meski diserang. Situasi Negara kita tentu semakin sulit, elemen pemerintah tentu semakin bingung setiap hari, yang di rumah semakin jenuh, di luar  rumah termasuk nakes entah apakah masih betah namun tanggung jawab moral dan profesi memilih bertahan.

Dalam situasi seperti ini penerimaan Negara semakin turun drastic, penerimaan ibu rumah tangga tentu lebih drastic pula yang kian menurun. Kampanye di rumah saja sudah dihafal para pelajar seperti seperti hafalan di sekolah sekolah mereka. Sejak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dua bulan terakhir, tak sedikit masyarakat panik. Di tengah situasi pandemic Covid saat ini sangat sulit berfikir jernih apalagi terbilang bijak. 

Sehingga keputusan keputusan yang sifatnya jangka panjang yang diambil oleh pemerintah tentu menambah kekhawatiran masyarakat. Win win solution dari pemerintah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan masyarakat sangat membutuhkan dukungan dari wakil rakyat  sebagai jembatan informasi “dari dan ke, dari dan untuk” kemudian disosialisasikan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. Mencari informasi di media sosial tentu tidak cukup mencerahkan, bahkan banyak informasi menjebak, menggurui dan ada juga yang sifatnya provokatif.

Alangkah baiknya jika semua elemen pemerintah, wakil rakyat dan rakyat (masyarakat umum) fokus berjuang menghadapi Covid. Salah satu alasannya agar terkesan positif bahwa kita semua dari ketiga elemen tersebut bekerja bersama membangun sinergitas demi kesehatan dan keselamatan bersama, bukankah kesehatan yang utama? 

Wacana mudik dan pulang kampung belum rampung bahkan masih ngambang pada level pemudik yang bebal akhirnya memilih diksi pulang kampung agar terbebas dari kamus petugas covid, kasus bantuan langsung Tunai (BLT) hampir sudah terbagi, namun sebagian tersimpan rapi pada level pemerintah daerah hingga tersumbat pada level RT, ditambah lagi dengan keputusan perpres terkait kenaikan iuran BPJS kelas I dan II. meski Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mempersilakan masyarakat yang keberatan dengan kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk turun ke kelas III. Tapi bukankah itu menyiksa dan menyita waktu yang terbilang antrean sangat ribet.

Bisa saja keputusan tersebut sudah bijak dan logis, namun dalam situasi seperti ini mungkin sebaiknya tidak terburu buru diputuskan atau paling tidak dibahas oleh DPR dan unsur pemerintah setelah lewat masa kritis akibat pandemic cobid-19. Cukuplah pandemic yang mencekik, tak usah diusik yang lain, anggota DPR dan pemerintah sebaiknya fokus saja dengan penanganan Covid 19. 

Masyarakat dengan berbagai tekanan bisa bisa menjadi beban psikologis sebab kemampuan kita tak merata.  Bahasa bahasa kenaikan sebisa mungkin diminimalisir agar tidak terdengar lagi di telinga kita sehingga tidak memunculkan wabah psikis yang baru bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun