Retak suara jam berdetak
Terdengar hingga di ujung lorong, serak
Sesekali bersorak seperti burung merak
Dan tiba tiba terhenti ketika kucing menggertak
Tikus di atap dan cicak ikut tersentak,
Udara malam masih berhembus, ia menjalani kehendak
Di ujung jarum jam, aku menusuk nadi rembulan
Sama seperti Ali Razegi mengucap kata seperempat jam
Seperdua  hingga separuh bulan penuh
Dingin aku mendekap, di atas seprei membungkuskus kasur busa
Bermerek, gambar doraemon beserta mesin penghitung waktunya.
Ini kado nikahan aku
Delapan tahun lalu, enam bulan
Tiga belas jam lima belas detik;
Arisan dari ibu  ibu sepanjang lorong sebagai doa untuk kami
Sebagai bujang yang hampir saja punah
Aku terkenang, Â senang
Mengenang masa itu dulu
Habis rerintik
Malam berbisik di malam bulan Februari
Di awal kuarter pemilik
Mesin waktu maha pemilik
Sisa delapan bulan enam minggu tiga belas jam lima belas detik
Menuju, di penghujung waktu
Tak ada yang mengenang waktu waktu lampau
Sudah sepuluh detik, nadiku 15/ 10 detik
aku termangu, hapir saja hanyut ditelan masa lalu
tiba tiba sebuah pesan singkat sebagai pengingat
atas diriku yang pelupa
"jangan terjebak mimpi semalam sebab pagi ini matahari sudah bersinar"
-Muthmainnah Rijal (istrimu yang selalu merindu)-
Yogyakarta, Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H