Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lelucon dan Mata Hati Andrea Hirata dalam "Orang-Orang Biasa"

1 Maret 2020   20:10 Diperbarui: 9 Maret 2023   16:02 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis novel Andrea Hirata dalam jumpa pers peluncuran novel Orang-orang Biasa di Diskusi Kopi, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (28/3/2019). (Foto: KOMPAS.com/DIAN REINIS KUMAMPUNG)

Menurut Andrea Hirata Sendiri karya sastra adalah cara berfikir, maka seluruh kemampuan kita digunakan dalam membaca karya sastra termasuk kemampuan bahasa, pengalaman dan pendalaman, pengetahuan tentang biografi serta latar belakang penulis juga penting.

Kita sebagai pembaca dapat menafsirkan karya juga dapat mengkritiknya sebab karya lahir terkadang lepas dari tangan penulis, Sapardi Joko Damono sendiri pernah berkata bahwa karya saya sejak dipublikasikan menjadi milik pembaca. Namun tidak semua penafsir atau pengkritik karya sangat jarang mengakui dirinya sebagai kritikus sastra. 

Salah satu kritukus sastra Jacques Derrida, dalam menafsirkan teks-teks karya sastra/ filosofis ia kemudian merekonstruksi atas lahirnya teks dan menganggap teks adalah representasi diri penulis. 

Selain itu teori deconstruksi Derraida dapat pula digunakan dalam mencari kelemahan teks tersebut dengan tujuan ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa tidak ada makna teks yang stabil dengan kata lain fleksibel. 

Atas penafsiran tersebut maka hukumnya sah sah saja bagi semua kalangan dalam menafsirkan teks teks. Maka tidaklah heran jika karya Andrea Hirata "Orang-Orang Biasa" dapat melahirkan beragam interpretasi. Hal tersebut bergantung pada penafsir dan pengetahuannya, tujuan serta kebutuhan atas kelahiran karya dan tafsiran. Sebut misalnya

Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980), artinya bahwa karya sastra itu lahir dalam konteks sejarah dan social-budaya suatu bangsayang didalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah satu anggota masyarakat bangsa-nya. 

Sebagai makhluk sosial, Andrea Hirata dalam menulis karya ia dipengaruhi oleh latar belakang sosiologisnya berupa struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial di Indonesia dan di Bangka Belitung. 

Maka tak heran jika karyanya kebanyakan memuat tentang pendidikan di kampung halamannya. Karya Hirata dibuat seperti lelucon  karna latar, peran tokoh dan ceritanya jika hanya melihat sebatas adegan dan dialog tokoh, namun jika membuka mata batin kita akan tertegun lalu berfikir.

Siapapun pasti tertawa jika membaca cerita laskar pelangi (2006) karya Andrea Hirata kemudian difilmkan (2008), disutradarai oleh Mohammad Rivai Riza? 

Melihat keseruan serta kelucuan dalam beberapa dialog antar tokoh, sebut Ikal, Lintang dan rekan di SD Muhammadiyah Belitung. Ditambah lagi keadaan kemiskinan akut, begitu sangat memprihatinkan bagi keluarga keluarga tokoh anak sekolah tersebut. 

Atas keadaan pendidikan serta kehidupan sosial masyarakat di Belitung (sebut orang tua tokoh) justru mampu bangkit untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meski keterbatasan ekonomi, jarak tempuh dari rumah ke sekolah serta fasilitas sekolah tidak layak disebut sekolah beserta tenaga pengajar terbilang sangat minim, pada akhirnya badai pasti berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun