Utang publik Indonesia telah menjadi salah satu landasan strategi pembangunan ekonomi negara, yang mencerminkan upaya untuk membiayai proyek infrastruktur berskala besar, memperluas layanan publik, dan menanggapi tantangan ekonomi global. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari $1,37 triliun, Indonesia sangat bergantung pada pendanaan utang untuk mendanai sektor-sektor penting seperti transportasi, energi, kesehatan, dan pendidikan. Hingga kuartal kedua (Q2) 2024, utang publik negara ini telah mencapai Rp16.575,32 triliun, yang menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutannya dan dampak jangka panjang terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Memahami komposisi, struktur, risiko, dan implikasi kebijakan dari utang yang terus meningkat sangat penting untuk menilai masa depan ekonomi Indonesia.
Komposisi Utang Publik Indonesia
Utang publik Indonesia merupakan struktur multifaset yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan publik, termasuk badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Pemerintah pusat memegang porsi utang publik terbesar, yakni sebesar Rp8.520,49 triliun hingga Q2 2024 yang merepresentasikan 51,41% dari keseluruhan utang publik Indonesia. Beban utang yang sangat besar ini bersumber dari pembiayaan proyek infrastruktur nasional berskala besar seperti jalan tol, pelabuhan, rel kereta api, dan infrastruktur energi, serta merupakan investasi pemerintah untuk mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi dan daya saing nasional. Pemerintah daerah memainkan peran yang lebih kecil, dengan total utang sebesar Rp79,8 triliun (0.48%) pada Q2 2024, relatif terbatas karena pembatasan regulasi terhadap pinjaman dan ketergantungan pada transfer fiskal dari pemerintah pusat yang diatur pada UU No. 11 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, PP No. 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, dan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 83 Tahun 2023 (untuk tahun anggaran 2024).
Perusahaan publik merupakan penyumbang utang negara yang signifikan lainnya, yang secara kolektif memegang Rp7.975,03 triliun, perusahaan publik non-keuangan sebesar Rp1.071,19 (13,43% dari jumlah keseluruhan utang perusahaan publik) dan keuangan sebesar Rp6.903,84 (86,57%). Struktur ganda ini menyoroti peran pemerintah dan sektor swasta untuk memobilisasi dana dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan nasional di berbagai provinsi. Keterlibatan pemerintah dan sektor swasta ini mencerminkan pendekatan strategis untuk mengurangi tekanan fiskal sekaligus menjaga momentum pembangunan nasional.
Struktur Utang Pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang utang publik terbesar dengan tanggung jawab besar kepada pembayar pajak tentu mendapatkan perhatian khusus dan tidak jarang memunculkan desas-desus di khalayak publik yang salah. Lantas, berapa besaran dan bagaimana komposisi sebenarnya utang pemerintah Indonesia saat ini? Struktur utang pemerintah Indonesia mencerminkan pendekatan yang seimbang yang memitigasi risiko fiskal sekaligus memastikan akses ke berbagai sumber pembiayaan. Hingga Q2 2024, sebanyak 70,93% utang negara berdenominasi Rupiah (IDR), yang mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar mata uang asing dan sisanya, 29,07%, berdenominasi mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat, euro, dan yen, sehingga masih menimbulkan kerentanan terhadap depresiasi mata uang akibat adanya gangguan pasar global. Surat utang merupakan tulang punggung utama dari strategi pembiayaan pemerintah, yang mencakup 86,46% dari total utang pemerintah. Surat utang ini mencakup obligasi domestik dan internasional, obligasi syariah (sukuk), dan surat utang negara, yang memungkinkan pemerintah mengakses pasar modal domestik dan juga global. Surat utang juga menjadi pilihan penting pemerintah karena menawarkan opsi pembiayaan jangka panjang, meskipun tetap membuat negara menghadapi risiko suku bunga dan potensi tantangan perpanjangan saat obligasi jatuh tempo akibat ketidakstabilan fiskal nasional. Pinjaman yang mereprentasikan Rp1.164,18 triliun atau 13,54% dari keseluruhan utang pemerintah, termasuk pinjaman luar negeri melalui perjanjian bilateral dan multilateral dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan sebagainya.
Utang pemerintah terdistribusi di antara investor juga mencerminkan lingkungan pendanaan yang masih sehat dan stabil, dengan investor domestik memegang 62,89% dari keseluruhan utang pemerintah Indonesia, sehingga mengurangi paparan terhadap volatilitas pasar global. Namun, investor asing yang memegang utang pemerintah sebesar Rp3.191,81 tetap penting dengan partisipasi yang meningkat dari 36,61% pada Q1 2024 menjadi 37,11% pada Q2 2024. Peningkatan ini tetap terjadi meskipun pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengamanatkan perusahaan asuransi untuk menginvestasikan 30% dari portofolio mereka pada obligasi pemerintah dan penerbitan obligasi ritel yang semakin ditingkatkan untuk menarik investor lokal. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) menunjukkan bahwa prioritas strategis pemerintah terdistribusi pada sektor jasa kesehatan manusia dan layanan sosial (20,9%), administrasi publik dan pertahanan (18,8%), pendidikan (16,8%), konstruksi (13,6%), serta asuransi dan layanan keuangan yang menyumbang 9,5% dari alokasi utang. Distribusi ini mencerminkan fokus ganda Indonesia pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, menyeimbangkan perluasan infrastruktur dengan investasi modal manusia.
Utang luar negeri pemerintah tersebut paling banyak berasal dari sektor swasta sebesar 70,94%, termasuk dari bank komersial, pemasok, SBN domestik, dan SBN internasional. Kerja sama bilateral berkontribusi sebesar 7,58% dengan kreditur utama meliputi negara Jepang sebesar $7,44 miliar (atau setara Rp121,27 triliun), Prancis $4,37 miliar (Rp71,23 triliun), Jerman $3,81 miliar (Rp62,10 triliun), Tiongkok $1,43 miliar (Rp23,31 triliun), dan Australia $1,04 miliar (Rp16,95 triliun). Selain itu, lembaga multilateral juga berkontribusi sebesar 17,27% terhadap utang luar negeri pemerintah melalui Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) sebesar $21,35 miliar atau setara Rp348,01 triliun, ADB $10,56 miliar atau Rp172,13 triliun, IMF $8,46 miliar atau Rp137,90 triliun, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) $2,99 miliar atau Rp48,74 triliun), dan Bank Pembangunan Islam (IDB) $1,28 miliar atau Rp20,86 triliun. Utang luar negeri tersebut digunakan sebanyak 17,95% untuk mendukung program-program dan 19,87% untuk proyek-proyek pemerintah.
Risiko dalam Utang Pemerintah
Rasio utang terhadap PDB Indonesia sampai saat ini masih relatif moderat sebesar 29,87%. Meskipun demikian, sejumlah risiko ekonomi dan keuangan tetap menjadi ancaman keberlanjutan utang publik negara ini. Volatilitas suku bunga merupakan salah satu risiko yang paling signifikan, mengingat ketergantungan pemerintah pada surat utang. Meningkatnya suku bunga global dapat meningkatkan biaya pinjaman, sehingga membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai sektor-sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Jika suku bunga naik terlalu tajam, belanja publik dapat dikurangi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Risiko mata uang merupakan kekhawatiran utama lainnya akibat porsi utang dalam mata uang asing yang mencapai 29,07%. Depresiasi Rupiah terhadap mata uang utama dunia dapat meningkatkan biaya pembayaran utang, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk pengeluaran penting lainnya. Risiko ini semakin diperparah oleh rasio utang terhadap ekspor Indonesia yang relatif tinggi sebesar 130,46%, yang menunjukkan bahwa pendapatan ekspor mungkin akan kesulitan untuk menutupi pembayaran utang luar negeri, terutama selama gangguan perdagangan atau fluktuasi harga komoditas.
Ketergantungan ekspor membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi global, terutama di sektor-sektor seperti ekspor minyak kelapa sawit, batu bara, dan karet. Fluktuasi harga komoditas global dapat mengganggu pendapatan ekspor, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk membayar utang luar negerinya. Ketergantungan eksternal ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan pada komoditas yang tidak stabil. Ketergantungan pada pinjaman luar negeri juga dapat menimbulkan tantangan tambahan. Meskipun pinjaman ini menawarkan pembiayaan yang stabil, pinjaman ini membuat Indonesia terpapar pada risiko geopolitik, perubahan kondisi kredit global, dan kebijakan pemberi pinjaman. Gangguan apa pun pada saluran pembiayaan luar negeri ini dapat membahayakan stabilitas fiskal Indonesia dan memaksa pemerintah untuk meminjam dengan suku bunga yang lebih tinggi.
Keberlanjutan Utang dan Pentingnya Penyesuaian Kebijakan
Memastikan keberlanjutan utang Indonesia memerlukan strategi fiskal multi-aspek yang berfokus pada perolehan pendapatan, diversifikasi utang, dan belanja publik yang efisien. Memperkuat pengumpulan pendapatan domestik harus menjadi prioritas utama. Pemerintah harus memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, dan memodernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemberlakuan kebijakan pajak baru berpotensi menciptakan gejolak publik, terutama dari kalangan masyarakat ekonomi menengah yang berkontribusi hingga lebih dari 50% dari pajak negara (LPEM, 2024). Diversifikasi utang akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri. Memperluas pasar obligasi domestik melalui produk inovatif seperti obligasi hijau, dana investasi infrastruktur, dan obligasi pemerintah ritel dapat menarik investor institusional dan ritel. Mempromosikan literasi keuangan di kalangan masyarakat dapat lebih memperdalam pasar modal lokal dan meningkatkan mobilisasi tabungan domestik, terutama dengan potensi pasar Indonesia yang masih sangat besar. Belanja publik harus dioptimalkan dengan memilih proyek-proyek berdampak tinggi dengan keuntungan ekonomi yang jelas. Pemerintah harus memastikan transparansi pengadaan, mengurangi keterlambatan proyek, serta mengadopsi praktik terbaik internasional dalam pemantauan dan evaluasi proyek. Memperluas kemitraan publik-swasta (KPS) juga akan membantu membagi risiko proyek dengan sektor swasta sekaligus mengurangi beban fiskal langsung. Mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri tetap penting. Memperkuat pemantauan utang melalui analisis data tingkat lanjut dan penilaian keberlanjutan utang secara berkala akan memungkinkan deteksi dini risiko fiskal dan pembuatan kebijakan yang lebih responsif. Strategi fiskal terkoordinasi yang menekankan transparansi, efisiensi, dan investasi strategis akan mengubah utang publik Indonesia dari potensi kewajiban ekonomi menjadi mesin pertumbuhan yang berkelanjutan.
Utang publik Indonesia memang belum berada pada titik kritis, dengan kemampuan pemerintah melalui Kementerian Keuangan RI menyeimbangkan ambisi pertumbuhan dengan tanggung jawab fiskal. Sementara rasio utang terhadap PDB negara ini masih relatif rendah, meningkatnya tingkat utang, risiko mata uang, dan ketergantungan pasar global menggarisbawahi perlunya pengelolaan fiskal yang bijaksana, terutama dengan program-program subsidi baru dari pemerintah pusat. Dengan menjalankan kebijakan fiskal yang transparan, mendiversifikasi sumber pembiayaan, dan mengoptimalkan praktik pengelolaan utang, Indonesia dapat mengubah utang publiknya menjadi pendorong kuat pembangunan ekonomi berkelanjutan sekaligus meminimalkan risiko keuangan jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H