Selain itu, klaim Presiden Prabowo bahwa India menghabiskan lebih banyak untuk pertahanan daripada pendidikan juga tidak bisa disimpulkan benar. Pemerintah pusat India memang mengalokasikan $67 miliar untuk pertahanan, jauh lebih tinggi daripada $14,2 miliar untuk pendidikan. Namun, perbandingan ini mengabaikan peran signifikan pemerintah negara bagian, yang menanggung 89,3% dari total biaya pendidikan publik di negara tersebut, dengan total pengeluaran mencapai $132,71 miliar---hampir dua kali lipat anggaran pertahanan.
Strategi pendanaan pendidikan India sangat berfokus pada pendidikan dasar (60,52%), mencerminkan penekanan pada literasi dan numerasi dasar. Namun, tantangan masih tetap ada, seperti dana yang lebih kecil pada institusi pendidikan tinggi, kesenjangan regional dengan negara bagian besar (dari segi jumlah penduduk) seperti Maharashtra dan Madhya Pradesh mampu mengalokasi antara 15-20% dari PDB mereka sedangkan negara bagian seperti Telangana hanya mengalokasikan kurang dari 10%, serta pelaksanaan kebijakan yang tidak konsisten. Meskipun demikian, pengeluaran pertahanan yang mendominasi di tingkat pusat tidak menjadi gambaran bahwa India masih menjadikan pendidikan sebagai area prioritas.
Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara G20 dan ASEAN
Di antara negara-negara G20, pengeluaran pendidikan Indonesia relatif sangat rendah, hanya sebesar 3% dari PDB. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti AS (6,1%) dan Prancis (5,4%) mengalokasikan hampir dua kali lipat atau lebih secara persentase dibandingkan dengan PDB. Angka nominal bahkan jauh lebih besar, mengingat PDB negara-negara tersebut jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Perbedaan ini mencerminkan keterbatasan kapasitas fiskal Indonesia dan prioritas nasional yang bersaing, belum mampu menjadi pendidikan ke peran primer, di atas belanja-belanja lainnya secara signifikan. Bahkan, India yang memiliki PDB per kapita setengah dari Indonesia, menyalurkan anggaran pendidikan lebih besar hingga mencapai 3,74% dibandingkan PDB.
Perlu diingat, negara-negara dengan pengeluaran pendidikan yang lebih tinggi relatif menikmati ekosistem inovasi yang lebih unggul, daya saing ekonomi yang lebih kuat, dan hasil sosial yang lebih baik, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki rata-rata IQ sebesar 78,49 (peringkat ke-129 dari 197 menurut World Population Review). Investasi rendah Indonesia dalam sektor pendidikan menunjukkan kurangnya fokus strategis, menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuannya untuk membangun sumber daya manusia yang diperlukan untuk pertumbuhan jangka panjang. Tanpa perubahan signifikan dalam prioritas anggaran, Indonesia berisiko semakin tertinggal dari rekan-rekan G20 dalam hal kualitas pendidikan dan pembangunan sosial-ekonomi.
Di dalam ASEAN, pengeluaran pendidikan Indonesia juga relatif mengecewakan, berkontribusi pada kinerjanya yang buruk dalam penilaian internasional. Dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dari OECD Tahun 2022, Indonesia hanya mempunyai skor rata-rata 379 dalam Matematika, 371 dalam Membaca, dan 396 dalam Sains, jauh tertinggal dari tetangga regional seperti Vietnam dan Malaysia. Hasil ini menyoroti ketidakefektifan model pengeluaran Indonesia saat ini, yang lebih memprioritaskan input daripada hasil.
Meskipun tingkat literasi Indonesia relatif tinggi mencapai 96%, negara ini kesulitan menerjemahkan literasi dasar menjadi hasil belajar yang bermakna. Tantangan seperti infrastruktur yang tidak memadai, pelatihan guru yang buruk, dan distribusi sumber daya yang tidak merata memperburuk masalah ini. Sementara pesaing regional terus berinvestasi dalam pendidikan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, Indonesia berisiko tertinggal dalam upaya membangun tenaga kerja yang terampil dan kompetitif.
Struktur Anggaran dan Efisiensi Pengeluaran