Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kisah Suram Kebijakan Fiskal Indonesia: Sosialisme yang Akhirnya Menggerogoti Kemakmuran Nasional

2 Desember 2024   18:07 Diperbarui: 2 Desember 2024   18:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Melawan Rezim Komunis di Kuba (The Sikkim Today)

Ekonomi Indonesia, yang dikenal sebagai negara berkembang yang penuh dengan potensi, kini terjebak dalam jaring kebijakan fiskal yang keliru di bawah kepemimpinan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dengan memberlakukan pajak yang memberatkan rumah tangga, mengejar pengeluaran yang tidak produktif, dan sangat bergantung pada utang luar negeri, pemerintah telah membelenggu pertumbuhan ekonomi bangsa. Ideologi sosialisme, yang memprioritaskan redistribusi daripada produksi, perlahan-lahan melemahkan daya saing dan vitalitas ekonomi Indonesia.

Pajak yang Naik: Beban yang Salah Sasaran bagi Rumah Tangga

Keputusan pemerintah untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% pada tahun 2024 menjadi 12% pada tahun 2025 menunjukkan ketergantungan yang meningkat pada pajak rumah tangga untuk membiayai pengeluaran publik. Sejak 2020, negara ini telah mengalihkan fokus fiskalnya ke pajak penghasilan dan konsumsi untuk mengimbangi pendapatan yang menurun dari sumber lain. Strategi ini, bagaimanapun, bersifat regresif dan merugikan keadilan ekonomi. Dengan mengenakan pajak pada konsumsi---pengeluaran yang tidak dapat dihindari bagi mayoritas rakyat Indonesia---pemerintah secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok.

Sebaliknya, pajak korporasi terus diturunkan, dari 25% pada tahun 2020 menjadi 22% pada tahun 2024. Penurunan ini, yang diklaim sebagai upaya untuk meringankan beban keuangan bisnis dan mencegah PHK, menciptakan kesenjangan yang mencolok. Sementara korporasi menikmati keringanan, rakyat biasa dipaksa menanggung beban pajak yang lebih berat. Kebijakan ini tidak hanya memperlebar ketimpangan tetapi juga menekan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Masalah Pengeluaran: Anggaran yang Membengkak dan Prioritas yang Salah

Pengeluaran pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun, namun alokasi dana ini menunjukkan banyak ketidakefisienan. Pada tahun 2023, pembayaran bunga utang saja mencapai 20% dari total pengeluaran pemerintah, menjadikannya pos anggaran terbesar. Gaji pegawai negeri dan belanja barang masing-masing menyerap 18% dan 19% anggaran. Secara keseluruhan, kategori ini menyumbang 57% dari seluruh pengeluaran, menyisakan sedikit ruang untuk investasi penting di bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Yang paling mengkhawatirkan adalah rendahnya proporsi belanja modal dalam anggaran nasional. Meskipun Indonesia sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, investasi di bidang ini tetap sangat minim, terutama jika dibandingkan dengan beban utang yang terus meningkat. Pemerintah tampaknya lebih banyak menghabiskan uang untuk mempertahankan birokrasi daripada membangun fondasi untuk kemakmuran jangka panjang.

Ketergantungan pada Utang: Beban yang Terus Membesar

Indikator utang Indonesia mencerminkan gambaran suram terkait kurangnya pertanggungjawaban fiskal oleh pemerintah pusat. Rasio utang pemerintah terhadap PDB meningkat tajam dari 25% pada tahun 2010 menjadi 39% pada tahun 2023. Begitu pula, kredit swasta sebagai persentase PDB naik dari 26% menjadi 34% dalam periode yang sama. Meskipun utang dalam batas tertentu dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, ketergantungan Indonesia pada utang telah terbukti tidak produktif.

Data menunjukkan dengan jelas bahwa pengeluaran yang dibiayai utang tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Antara 2010 dan 2023, pertumbuhan PDB rata-rata hanya 4,7%, kinerja yang lesu untuk negara berkembang dengan sumber daya melimpah dan tenaga kerja besar. Kontras antara peningkatan utang dan pertumbuhan stagnan ini menyoroti ketidakefisienan kebijakan fiskal pemerintah. Alih-alih menggunakan dana pinjaman untuk mendorong proyek transformasional yang dapat menciptakan multiplier effect, sebagian besar dana justru dialokasikan ke area yang tidak produktif, termasuk pembayaran bunga utang yang mencapai Rp440 triliun pada tahun 2023.

Pendapatan Pemerintah: Membebani Rakyat

Jika dilihat lebih dalam, pendapatan pemerintah Indonesia menunjukkan ketergantungan yang meningkat pada pajak, terutama dari rumah tangga. Pada tahun 2023, pajak menyumbang 77% dari total pendapatan pemerintah. Pajak penghasilan dan PPN menjadi komponen terbesar, mencerminkan ketergantungan pemerintah pada kontribusi rumah tangga.

Meskipun terdapat beban pajak yang berat ini, pendapatan yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara efektif untuk kepentingan rakyat. Peningkatan tajam dalam PPN dan pajak lainnya menunjukkan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan pengumpulan pendapatan jangka pendek daripada stabilitas ekonomi jangka panjang. Pendekatan ini berisiko lebih lanjut menekan pengeluaran konsumen, yang sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan di ekonomi yang berorientasi domestik seperti Indonesia.

Paham Sosialisme yang Menjadi Biang  Penghancur Kemajuan

Di balik salah kelola fiskal Indonesia terletak keyakinan mendalam pada sosialisme. Sosialisme merupakan sistem ekonomi dan politik yang menekankan kepemilikan kolektif atau kontrol negara atas alat-alat produksi, distribusi kekayaan yang merata, dan intervensi besar pemerintah dalam ekonomi. Meskipun sering dianggap sebagai alternatif yang lebih adil dibanding kapitalisme, sejarah menunjukkan bahwa sosialisme cenderung mengurangi efisiensi ekonomi, mematikan inovasi, dan menciptakan ketergantungan pada pemerintah.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal dan ekonomi yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir mencerminkan pola sosialisme yang terselubung. Pemerintah tidak hanya membebani rakyat melalui pajak tinggi, tetapi juga menggunakan hasil pajak untuk mendanai subsidi dan belanja birokrasi yang membengkak, bukannya investasi produktif. Ketergantungan yang besar pada redistribusi kekayaan, alih-alih mendorong pertumbuhan melalui sektor swasta, semakin memperkuat ciri-ciri sosialisme.

Indonesia juga menunjukkan kontrol negara yang kuat atas sumber daya dengan adanya ketergantungan pada badan usaha milik negara (BUMN). Ironisnya, meskipun BUMN menjadi tulang punggung perekonomian di banyak sektor strategis, mereka sering menjadi sumber inefisiensi karena birokrasi dan korupsi.

Indonesia vs. Argentina (Sebelum Javier Milei) dan Venezuela: Kemiripan yang Mengkhawatirkan

Argentina, sebelum reformasi ekonomi di bawah Presiden Javier Milei, adalah contoh sempurna dari keruntuhan akibat sosialisme terselubung. Selama beberapa dekade, pemerintah Argentina menerapkan kebijakan populis, termasuk subsidi besar-besaran, kontrol harga, dan pajak tinggi. Ketergantungan negara pada utang untuk membiayai pengeluaran membengkak, menciptakan defisit fiskal yang kronis. Akibatnya, inflasi melonjak hingga 100%, mata uang kehilangan nilainya, dan masyarakat jatuh ke dalam kemiskinan yang meluas. Indonesia menunjukkan pola yang serupa. Dengan rasio utang yang terus meningkat (39% dari PDB pada 2023) dan pengeluaran besar pada subsidi serta bunga utang, Indonesia berada di ambang risiko ekonomi yang mirip. Kenaikan pajak, seperti PPN, hanya memperburuk tekanan pada rumah tangga, sebagaimana yang terjadi di Argentina.

Venezuela menjadi contoh paling tragis dari kehancuran akibat sosialisme. Negara ini, yang dulunya kaya berkat cadangan minyak yang masif, kini berada di bawah rezim komunis yang menerapkan kontrol penuh atas ekonomi. Nasionalisasi sektor swasta, pembatasan perdagangan, dan subsidi besar-besaran menyebabkan keruntuhan total. Inflasi mencapai ratusan persen, mata uang tidak bernilai, dan jutaan rakyat terpaksa melarikan diri akibat kelaparan dan kekerasan. Walaupun Indonesia belum sampai pada level kehancuran Venezuela, tanda-tandanya mulai terlihat. Ketergantungan pada subsidi dan intervensi pemerintah yang besar telah menciptakan ekonomi yang tidak efisien. Selain itu, alokasi besar untuk bunga utang (20% dari belanja pemerintah pada 2023) menunjukkan bagaimana ketergantungan fiskal ini mulai meniru pola kehancuran di Venezuela.

Pelajaran yang Harus Dipetik

Argentina mulai keluar dari krisisnya setelah Presiden Javier Milei mengambil langkah-langkah drastis, seperti mengurangi peran negara dalam ekonomi, memangkas subsidi, dan mempromosikan sektor swasta. Indonesia harus belajar dari keberanian Argentina untuk memutus rantai sosialisme yang melemahkan. Jika tidak, Indonesia berisiko jatuh lebih dalam ke pola kehancuran seperti Venezuela. Pemerintah harus segera mengurangi peran negara dalam kehidupan rakyat Indonesia, menurunkan pajak terutama yang menyasar masyarakat kelas ekonomi menengah, menghentikan utang yang tidak produktif, dan memberi ruang lebih besar bagi sektor swasta. Tanpa reformasi drastis, Indonesia hanya akan terus menjadi korban dari kebijakan sosialisme yang melemahkan daya saing dan kesejahteraan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun