Indonesia selalu bangga menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat (AS), namun tradisi pelantikan presiden secara tertutup dalam Sidang Paripurna MPR, yang hanya dihadiri segelintir elite politik dan tamu asing, meragukan klaim ini. Apakah ini benar-benar demokrasi jika rakyat dikesampingkan dari momen penting seperti pelantikan pemimpin yang mereka pilih? Tradisi kuno ini tak hanya usang, tetapi juga merendahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjunjung partisipasi dan keterlibatan publik.
Pelantikan Presiden Sekadar untuk Elite, Bukan Rakyat
Pelantikan presiden seharusnya menjadi momen rakyat, sebuah perayaan atas hasil pemilu yang mereka perjuangkan beberapa bulan sebelumnya. Namun, di Indonesia, acara ini malah dirampas oleh segelintir elite dan politisi yang nyaman dalam gedung mewah, jauh dari jangkauan rakyat. Apakah ini demokrasi atau sekadar sandiwara elitisme yang menjijikkan? Pelantikan tertutup ini menunjukkan seberapa jauh pemerintah merasa terputus dari rakyat yang telah memilih mereka. Di AS, sebagai perbandingan, pelantikan presiden selalu menjadi acara besar yang dihadiri langsung oleh ratusan ribu warga dari berbagai kalangan, berkumpul di sepanjang jalanan Washington, D.C depan Gedung Kapitol yang juga dapat diakses secara bebas oleh rakyat, tanpa ada pagar pemisah. Rakyat AS bisa mendengarkan secara langsung pengambilan sumpah presiden terpilih di atas kitab suci yang dipimpin oleh Ketua Hakim Mahkamah Agung AS (SCOTUS).
Yang lebih ironis, acara pelantikan presiden di Indonesia bukan hanya tertutup bagi rakyat, tetapi justru dihadiri tamu-tamu asing yang mendapat tempat kehormatan. Kepala negara dan pemerintahan, serta diplomat-diplomat dari "negara sahabat" bisa duduk di kursi terbaik, sementara rakyat yang memberikan suara dalam pemilu malah diabaikan. Tercatat, pejabat asing yang diberitakan hadir dalam pelantikan presiden Prabowo meliputi Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei, Presiden Bongbong Marcos dari Filipina, Perdana Menteri Lawrence Wong dari Singapura, hingga Menteri Luar Negeri David Lammy dari Inggris, dan masih banyak lagi. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan pemerintah dengan ini? Apakah opini tamu asing lebih berharga daripada kehadiran rakyatnya sendiri? Demokrasi seharusnya menjadi selebrasi bagi rakyat yang menjadi pemilih, bukan tentang membuat kesan bagi dunia internasional. Ini merupakan penghinaan terhadap seluruh prinsip demokrasi dan rakyat Indonesia yang dipinggirkan oleh para pemimpin yang mereka percayai.
Tradisi Usang yang Mempermalukan
Mereka yang membela tradisi ini sering berargumen bahwa pelantikan di dalam gedung MPR merupakan "tradisi" yang telah lama dilakukan. Tapi tradisi apa yang layak dipertahankan jika itu mengasingkan rakyat dari pemimpinnya sendiri? Tradisi ini berasal dari masa lalu, saat kekuasaan berada di tangan sekelompok kecil elite dan rakyat hanya bisa menonton dari jauh, tanpa hak untuk ikut serta dalam memilih presiden. Apakah ini jenis tradisi yang masih pantas di era modern, di mana keterbukaan dan transparansi seharusnya menjadi standar minimum bagi setiap pejabat publik? Negara-negara demokratis yang benar-benar menghargai rakyatnya telah meninggalkan tradisi-tradisi yang menutup akses publik. Indonesia seharusnya malu mempertahankan ritual lama yang lebih mencerminkan feodalisme daripada demokrasi.
Pelantikan presiden tertutup di Indonesia juga merupakan pertunjukan kekuasaan yang seakan mengindikasikan bahwa Indonesia lebih pantas disebut sebagai negara tertutup. Jika pemerintah tidak mau membuka pelantikan kepada rakyat, lalu apa lagi yang mereka sembunyikan? Demokrasi yang sehat tidak berjalan di balik pintu tertutup, dan tidak mengasingkan rakyat dari proses-proses penting. Jika pelantikan saja dilakukan secara eksklusif dan tertutup, bagaimana kita bisa yakin bahwa pemerintah akan transparan dalam keputusan-keputusan besar lainnya? Tradisi pelantikan tertutup ini bukan hanya soal upacara, ini adalah simbol bagaimana elite politik Indonesia memandang rakyatnya. Rakyat diabaikan, sementara pejabat-pejabat asing diberi tempat istimewa. Demokrasi di Indonesia semakin terlihat seperti kediktatoran yang tersembunyi di balik jargon-jargon kosong. Pelantikan presiden seharusnya menjadi momen rakyat, bukan kesempatan bagi segelintir orang untuk bersekutu dan pamer di hadapan dunia internasional.
Sudah Waktunya Ada Perubahan
Sudah saatnya kita sebagai rakyat menuntut perubahan. Pelantikan presiden tertutup adalah simbol usang yang tidak layak dipertahankan dalam demokrasi modern. Jika kita terus membiarkan tradisi ini berlanjut, kita akan semakin menjauh dari demokrasi sejati, dan lebih dekat ke arah sistem yang hanya melayani kepentingan elite dan para tamu asing. Pelantikan presiden harus menjadi acara yang inklusif, terbuka untuk rakyat, dan merefleksikan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Tentunya, inklusivitas yang dimaksud bukan sekadar penyiaran langsung upacara yang dilakukan melalui televisi, yang juga masih meninggalkan hampir 20% populasi Indonesia yang tidak mengakses televisi sama sekali menurut data BPS. Belum lagi, pengguna internet juga baru mencapai 79,5% dari populasi negara ini.
Kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita masih hidup di negara demokrasi, atau kita hanya dipaksa menelan sandiwara kekuasaan yang dikemas dalam acara tertutup? Demokrasi seharusnya berbicara tentang rakyat, dan jika rakyat terus diabaikan, yang tersisa hanya cangkang kosong dari demokrasi. Pelantikan presiden harus diubah menjadi acara publik yang merayakan kekuasaan rakyat, bukan sekadar pertemuan elite yang jauh dari jangkauan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H