Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Sistem Pemilu AS Menjelang 5 November 2024

16 Oktober 2024   12:37 Diperbarui: 16 Oktober 2024   12:42 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia menggunakan sistem demokrasi langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pemilu di Indonesia didasarkan pada suara terbanyak, di mana kandidat yang mendapatkan lebih dari 50% dari total suara dan setidaknya 20% suara sah pada lebih dari separuh provinsi di Indonesia, akan memenangkan kursi kepresidenan. Sistem ini memastikan bahwa setiap suara di seluruh negeri memiliki bobot yang sama dalam menentukan hasil. Model Indonesia mencerminkan prinsip "satu orang, satu suara" secara mutlak, yang berarti bahwa kandidat yang menerima dukungan terbanyak dari warga di seluruh negeri akan menjadi pemimpin. Hal ini berbeda secara fundamental dengan sistem yang berlaku di AS.

Namun, jika Indonesia mengadopsi sistem kolose elektoral AS sebagai perbandingan, Indonesia dapat memiliki sistem yang relatif serupa. Penghitungan suara elektoral Indonesia kemungkinan besar akan mencerminkan jumlah perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), karena lembaga-lembaga ini mencerminkan distribusi populasi di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan 580 anggota DPR dan 152 anggota DPD, kolose elektoral hipotetis Indonesia akan terdiri dari 732 suara elektoral, yang akan diperebutkan oleh setiap kandidat.

Berdasarkan data resmi pemilihan presiden Indonesia tahun 2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil yang menggunakan sistem hipotetis ini akan sangat berbeda dibandingkan dengan sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini. Anies Baswedan akan mendapatkan 35 suara elektoral dari dua provinsi-Aceh dan Sumatera Barat. Prabowo Subianto akan menang telak dengan 697 suara elektoral dari 36 provinsi. Ganjar Pranowo akan menerima nol suara elektoral, gagal memenangkan satu provinsi pun. Di bawah sistem ini, Prabowo Subianto akan menang telak, merebut sebagian besar provinsi dan suara pemilih, meninggalkan Anies dan Ganjar jauh di belakang. Hasil yang mencolok ini menunjukkan bahwa sistem pemilu gaya AS akan mengubah dinamika pemilu Indonesia.

Kemenangan Telak untuk Prabowo Subianto dengan Sistem Hipotetikal yang Terinspirasi dari AS

Dalam skenario ini, kemenangan Prabowo akan sangat menentukan, karena ia akan mendominasi di provinsi-provinsi yang padat penduduk dan provinsi-provinsi yang lebih kecil, dengan mengumpulkan 697 suara elektoral-jauh lebih banyak daripada 367 suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan suara mayoritas. Hasil telak ini sangat kontras dengan sistem pemilu yang ada, di mana para kandidat harus menarik perhatian pemilih secara luas di seluruh negeri. Hasil ini juga menunjukkan pentingnya peran strategis provinsi dalam sistem kolese elektoral. Keberhasilan Prabowo dalam mengamankan suara dari 36 provinsi menunjukkan keuntungan dari kemenangan di wilayah geografis yang luas. Kemenangan Anies Baswedan di dua provinsi, meskipun mungkin memiliki dukungan populer yang signifikan di beberapa daerah, tidak akan cukup untuk menyaingi kemenangan Prabowo di provinsi yang besar. Ganjar Pranowo, di sisi lain, akan benar-benar tersingkir di bawah sistem ini, meskipun memiliki dukungan rakyat yang kuat di beberapa daerah.

Jika Indonesia menerapkan sistem baru ini, seluruh lanskap pemilu juga akan berubah. Pentingnya memenangkan provinsi-bukan hanya total suara-akan mengubah strategi kampanye. Para kandidat kemungkinan besar akan berfokus pada provinsi-provinsi yang bisa mengubah keseimbangan suara elektoral, dan berpotensi mengabaikan provinsi-provinsi yang dianggap aman bagi salah satu partai atau koalisi pendukung. Para kandidat juga mungkin akan menghabiskan lebih banyak sumber daya dan upaya di provinsi-provinsi yang memiliki kesetiaan politik yang tidak pasti-daripada di tingkat nasional, seperti yang terjadi di AS. Seperti halnya di AS, seorang kandidat bisa saja memenangkan suara populer di tingkat nasional namun kalah dalam pemilihan karena alokasi suara elektoral. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan publik terhadap sistem, karena para pemilih di provinsi-provinsi yang didominasi oleh partai tertentu mungkin merasa suara mereka kurang berpengaruh. Provinsi-provinsi dengan populasi lebih kecil, seperti Gorontalo, Papua Selatan, dan Kalimantan Utara, bisa mendapatkan pengaruh yang jauh lebih besar, tanpa memperdulikan seberapa kecil populasinya dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Dan seperti yang ditunjukkan dalam skenario ini, seorang kandidat seperti Prabowo Subianto, yang mendominasi dalam hal kemenangan di tingkat provinsi, dapat memperoleh mayoritas suara elektoral yang sangat besar meskipun selisih suara populer di provinsi-provinsi tersebut relatif lebih sempit.

Kolese Elektoral: Relevan di AS tetapi Tidak di Indonesia

AS merupakan sebuah federasi negara-negara bagian, masing-masing dengan otonomi yang signifikan. Kolese elektoral memperkuat struktur federal ini dengan memberikan setiap negara bagian pengaruh yang proporsional, tetapi tidak sepenuhnya berdasarkan jumlah penduduk, dalam pemilu. Sistem ini sejalan dengan filosofi politik federalisme AS, di mana negara-negara bagian tetap memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam kerangka kerja nasional. Meskipun sistem ini telah menyebabkan situasi di mana suara populer tidak selaras dengan suara elektoral, para ahli tetap berpendapat bahwa sistem ini terus melindungi kepentingan negara-negara bagian yang lebih kecil, menjaga keseimbangan kekuasaan di seluruh negeri, sesuai dengan amanat konstitusi.

Sebaliknya, Indonesia tidak menerapkan bentuk negara yang sama. Indonesia beroperasi sebagai sebuah negara kesatuan, di mana pemerintah pusat memegang kekuasaan utama, dan provinsi-provinsi memiliki kekuasaan yang lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara bagian di AS. Struktur terpusat ini berarti bahwa sistem seperti kolose elektoral, yang menekankan representasi daerah dan otonomi negara bagian, tidak akan relevan atau diperlukan di Indonesia.

Lagipula, bentuk kedua negara sebagai kesatuan dan federasi, masing-masing telah diatur sedemikian rupa dalam konstitusi. Bahkan, kedua negara menjadikan kondisi ini tidak dapat diamandemen dengan klausul yang mengakar atau abadi dalam konstitusi masing-masing. Pada akhirnya, bagi negara-negara seperti Indonesia, yang menerapkan demokrasi langsung, keberadaan kolese elektoral di AS hanya sebagai gambaran sekilas tentang bagaimana sistem pemilu yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang sangat berbeda dalam perebutan kepemimpinan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun