Prabowo Subianto yang akan dilantik sebagai presiden untuk periode 2024-2029 tampaknya punya solusi ajaib untuk masalah Indonesia: menambah kementerian! Ini tentu menjadi langkah brilian untuk "membagi kue politik" kepada para pendukung.Â
Siapa peduli kalau kita harus membayar lebih? Toh, uang rakyat bukan masalah besar, selama para sekutu politik bisa dapat kursi. Dan ironisnya, ini dilakukan di negara yang sudah lama melarang komunisme, tapi sepertinya pemerintahan besar versi Prabowo adalah pengecualian yang diterima.
Sekalipun jumlah pasti kementerian yang akan ada dalam pemerintah Prabowo belum terkonfirmasi, Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad telah menyatakan bahwa dalam Kabinet Prabowo akan terjadi penambahan jumlah menteri dari sebelumnya 34.Â
Lantas, bagaimana sebenarnya penambahan kementerian ini justru bukannya menyelesaikan masalah negara ini menuju Indonesia Emas 2045, tetapi justru berpotensi menambah beban bagi berbagai pihak, termasuk rakyat Indonesia?
Masalah Beban Birokrasi
Salah satu masalah utama dalam memperluas jumlah kementerian adalah risiko terciptanya birokrasi yang gemuk. Mesin pemerintahan Indonesia telah lama bergumul dengan ketidakefisienan, termasuk lambatnya pengambilan keputusan, tanggung jawab yang tumpang tindih, dan kurangnya koordinasi antar-kementerian dan lembaga.Â
Alih-alih meningkatkan tata kelola, penambahan kementerian justru bisa menghasilkan kebingungan administratif yang lebih besar. Masalah ini bukan hanya masalah Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara lain dengan sistem birokrasi yang besar dan kompleks.
Misalnya, India dengan 58 kementerian dan 93 departemen pemerintah pusat menghadapi masalah kelambanan birokrasi selama bertahun-tahun. Tanggung jawab antar-kementerian yang saling tumpang tindih sering kali memperlambat proyek penting, seperti pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan sosial.
Ketidakefisienan ini telah memicu frustasi publik dan menjadi hambatan besar dalam pelaksanaan kebijakan yang efektif. Begitu pula di Nigeria, dengan hanya 24 kementerian federal, menghadapi masalah korupsi dan birokrasi yang menghambat kemampuan untuk melaksanakan reformasi dan meningkatkan pelayanan publik.
Sebaliknya, negara seperti Amerika Serikat dan Jerman telah mengadopsi struktur pemerintahan yang lebih ramping, dengan menjaga jumlah kementerian yang relatif kecil sebanyak masing-masing 15 departemen federal namun memiliki mandat yang luas.Â