Selama lebih dari satu dekade, Real Madrid telah membayangi Liga Champions UEFA. Meskipun kompetisi ini menampilkan beberapa rivalitas terpanas dan pemain paling berbakat di dunia, Los Blancos (Si Putih yang merupakan sebutan untuk Real Madrid) telah memantapkan diri sebagai raja Eropa yang tak terbantahkan. Dalam satu dekade terakhir sejak musim 2014/2015, Real Madrid telah memenangkan empat gelar dan mencapai setidaknya semifinal dalam delapan dari sepuluh kesempatan. Dalam meraih pencapaian tersebut, Real Madrid mengalahkan klub-klub besar seperti Bayern Munich, Manchester City, Chelsea, Liverpool, Juventus, Roma, dan Paris Saint-Germain. Pencapaian terbaru pada musim 2023-24 yang berhasil masuk ke babak final untuk melawan Borussia Dortmund semakin menjadi bukti nyata dominasi mereka yang luar biasa. Artikel ini akan mengupas faktor-faktor kunci yang telah memicu periode kesuksesan yang tak tertandingi ini.
Warisan dan "DNA" dengan Rekrutmen Strategis dan Manajemen Skuad
Dominasi Real Madrid tidak bisa sepenuhnya dipahami tanpa melihat sejarah klub ini yang kaya di Liga Champions (atau Piala Eropa hingga 1992). Dengan rekor 14 gelar, klub ini memiliki warisan yang melampaui beberapa lintasan generasi, menumbuhkan "DNA" unik di dalam klub yang membuat para pemain memahami pentingnya Liga Champions dalam koleksi trofi mereka. Mengenakan jersey putih membawa beban harapan, pengejaran kemenangan yang tak henti-hentinya ditanamkan pada setiap pemain yang melangkah melalui pintu Stadion Santiago Bernabu. Mentalitas yang tertanam ini berfungsi sebagai pendorong terus-menerus, memotivasi tim untuk meraih kehebatan di panggung terbesar. Legenda seperti Alfredo Di Stfano, Francisco Gento, Zinedine Zidane, dan Cristiano Ronaldo telah menjadi identik dengan kejayaan Eropa, meninggalkan bayangan panjang yang menginspirasi generasi saat ini untuk meniru pencapaian mereka. Di sisi lain, Presiden Florentino Prez telah menguasai pendekatan rekrutmen yang strategis selama lebih dari satu dekade terakhir, menghidupkan kembali konsep "Galactico" untuk era modern. Strategi ini berfokus pada perolehan talenta kelas dunia sambil mempertahankan inti yang kuat dari pemain berpengalaman. Kedatangan Cristiano Ronaldo pada tahun 2009 dengan transfer pemecah rekor menandai dimulainya babak baru untuk Galactico 2.0, dan nama-nama ikonik seperti Luka Modri, Toni Kroos, dan Karim Benzema kemudian menyusul. Akan tetapi, tidak seperti Galactico asli, skuad ini memprioritaskan fleksibilitas dan keseimbangan taktis bersama dengan kecemerlangan individu. Prez dan staf pelatih dengan cermat menyusun tim yang dapat beradaptasi dengan situasi yang berbeda, memastikan dominasi tidak hanya bergantung pada bakat individu. Strategi rekrutmen yang cerdas ini tidak hanya mendatangkan pemain bintang tetapi juga memastikan kedalaman dan pemahaman yang kuat tentang filosofi klub yang akan menjadi faktor kunci mereka untuk memenangkan banyak gelar sejak 2014.
Transfermarkt mencatat Real Madrid sebagai tim termahal ke-3 di dunia dengan nilai pasar skuad berjumlah 1,04 miliar atau setara Rp17.95 triliun. Bahkan menurut Observatorium Sepak Bola CIES, pemain muda Real Madrid telah menduduki puncak daftar pemain termahal dunia melalui Jude Bellingham di posisi pertama dengan nilai transfer 267,5 juta, dan dua rekan setimnya dari Brasil, Vincius Jnior dan Rodrygo Goes di nomor 3 dan 4 dengan 250,3 juta dan 247,6 juta. Antara 2014 hingga 2017, trisula penyerang yang berbeda mendominasi berita utama pertandingan Real Madrid: Bale, Benzema, dan Cristiano Ronaldo, yang dijuluki "BBC". Kekuatan serangan ini meneror pertahanan di seluruh Eropa, menggabungkan kecepatan, kekuatan, dan penyelesaian akhir yang klinis. Kontribusi mereka terhadap kemenangan Liga Champions Real Madrid pada tahun 2014 dan 2016 tidak dapat diremehkan. Saat dominasi Ronaldo mulai mereda, Real Madrid dengan mulus beralih ke gaya permainan baru, dengan trio lini tengah yang menjadi pusat perhatian. Kemampuan beradaptasi ini menyoroti komitmen klub untuk kesuksesan jangka panjang, bukan hanya ketergantungan pada superstar individu. Lini tengah yang menjadi landasan kesuksesan Real Madrid dalam beberapa tahun terakhir terdiri dari trio legendaris: Modri, Kroos, dan Casemiro. Trio ini menawarkan perpaduan sempurna antara kontrol, kreativitas, dan baja pertahanan. Modri, sang konduktor, mengatur tempo dengan visi dan umpannya yang tak tertandingi. Kroos, sang metronom, mengontrol permainan dengan distribusi yang tepat dan kecerdasan taktis. Casemiro, sang perusak, bertindak sebagai perisai, membebaskan rekan-rekannya yang menyerang untuk berkembang dengan memenangkan tekel dan memecah serangan lawan. Bersama-sama, mereka telah menjalin dominasi di lini tengah, mengendalikan jalannya kemenangan Liga Champions yang tak terhitung jumlahnya.
Lebih dari Sekadar Taktik dan Bintang: Budaya Keyakinan yang Tak Tergoyahkan
Sementara kecakapan taktis dan kecemerlangan individu telah menjadi ciri khas dari dominasi Liga Champions Real Madrid, pandangan yang lebih dalam mengungkapkan arus bawah yang kuat: budaya keyakinan yang tak tergoyahkan yang dikembangkan dengan hati-hati. Kualitas tak berwujud ini telah terwujud dalam comeback yang tak terhitung jumlahnya, terutama selama three-peat (tiga kemenangan berturut-turut) mereka yang bersejarah dari 2016 hingga 2018 dan musim 2021/2023, sebuah era yang terukir dalam ingatan sebagai "Remontada" (comeback epik). Keyakinan yang tak tergoyahkan ini melampaui sekadar kepercayaan diri atau optimisme, melainkan telah menjadi mentalitas yang tertanam kuat, pemahaman bawah sadar bahwa tidak ada defisit gol yang tidak dapat diatasi, tidak ada lawan yang tak terkalahkan, terutama di dalam tembok suci Santiago Bernabu. Manajer seperti Carlo Ancelotti dan Zinedine Zidane juga turut memainkan peran penting dalam memelihara budaya ini. Ancelotti, pemenang berantai dengan sikap tenang, menanamkan rasa percaya diri yang tenang, keyakinan bahwa bakat bawaan tim pada akhirnya akan menang. Zidane, legenda klub sendiri, mewakili semangat "Remontada." Keteguhan hatinya yang kuat dan keyakinan yang tak tergoyahkan pada para pemainnya diterjemahkan ke lapangan, menginspirasi mereka untuk menggali lebih dalam dan menemukan upaya ekstra saat menghadapi kesulitan.
Di luar staf pelatih langsung, para penggemar setia yang dikenal dengan sebutan "Madridista" yang penuh semangat menciptakan suasana yang mengintimidasi lawan dan memberdayakan pemain mereka sendiri. Raungan penonton menjadi kekuatan nyata, pengingat terus-menerus tentang masa lalu klub yang gemilang dan harapan tak tergoyahkan akan kesuksesan saat ini. Sistem kepercayaan ini meresap ke setiap aspek klub. Pemain muda yang bergabung dengan tim didoktrin dengan "DNA Liga Champions" - pengejaran kemenangan yang tak henti-hentinya di panggung terbesar. Pemain senior, veteran dari pertempuran Eropa yang tak terhitung jumlahnya, menjadi bukti nyata kekuatan keyakinan yang tak tergoyahkan. Ini adalah ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya - keyakinan pada comeback melahirkan lingkungan di mana comeback menjadi hal yang biasa. Semangat "Remontada" bukan hanya tentang gol dramatis di menit akhir; ini tentang penolakan untuk menyerah, keyakinan bahwa keadaan bisa berubah kapan saja. Ini tentang pemahaman kolektif bahwa jersey putih Real Madrid membawa beban sejarah, warisan yang menuntut kemenangan, terutama di Liga Champions. Kekuatan tak berwujud ini, sama seperti kecerdasan taktis atau kekuatan finansial, telah menjadi landasan dominasi Real Madrid di kompetisi elit Eropa.
Final Liga Champions 2024: Real Madrid Berburu Gelar ke-15
Final Liga Champions 2024 akan menjadi pertandingan puncak dari musim 2023--24. Pertandingan ini akan menjadi musim ke-69 dari kompetisi klub sepak bola utama Eropa yang diselenggarakan oleh UEFA, Real Madrid akan menantang klub Jerman, Borussia Dortmund di Stadion Wembley, London, Inggris pada 1 Juni 2024. Pertemuan ini juga akan menjadi final Liga Champions pertama antar-kedua klub, dan yang pertama di kompetisi Eropa sejak terakhir pada babak penyisihan grup Liga Champions 2017-2018, dengan Madrid menang 3-1 dan 3-2. Real Madrid mengawali musim pada babak grup yang diisi oleh Napoli, Braga, dan Union Berlin. Madrid keluar sebagai juara grup dengan perkasa setelah menyapu bersih 6 kemenangan. Bellingham, Vinicius, Rodrygo, dan Joselu tampil menggila dengan hujan gol mereka. Â Lawan berikut Madrid pun berguguran, meliputi RB Leipzig pada babak 16 besar, Manchester City yang digdaya pada babak perempatfinal, dan terakhir sang raksasa Bayern Munich pada babak semifinal. Drama adu penalti melawan City dan kemenangan dramatis melawan Bayern menjadi pembuktian mental juara Real Madrid pada musim ini hingga berhasil masuk final untuk yang ke-18 dalam sejarah. Setelah rekor kemenangan sempurna dalam babak final sejak tahun 1998, Real Madrid tentu tidak akan rela kehilangan kesempatan untuk memperpanjang rekor raihan trofi mereka dan kembali mengukuhkan diri sebagai Raja Eropa yang sejati. Di sisi lain, final kali ini akan menjadi penampilan final Liga Champions yang ketiga bagi Borussia Dortmund, pertama sejak kekalahan 1-2 dalam laga Der Klassiker melawan Bayern Munich pada tahun 2013, yang juga diadakan di Stadion Wembley.
Mental juara yang terpupuk dari pengalaman lama terutama dalam satu dekade terakhir akan menjadi motivasi utama Real Madrid saat menghadapi Dortmund yang baru pertama kali menginjakkan kaki di final setelah 11 tahun. Selain itu, skuad Real Madrid saat ini masih dipenuhi pemain bintang haus gol seperti Vinicius Jr., Rodrygo, dan bahkan Jude Bellingham. Kemampuan mereka membobol gawang lawan secara konsisten akan menjadi ujian berat bagi lini belakang Dortmund. Di lini tengah, pemain senior yang meliputi Modri dan Kroos, serta pemain  muda seperti Federico Valverde, Aurlien Tchouamni, dan Arda Gler menawarkan kombinasi sempurna antara kontrol permainan, kreativitas, dan kekuatan bertahan. Kehadiran mereka bisa memutus aliran serangan Dortmund dan membuat tim tersebut kesulitan berkembang. Faktor lain yang menguntungkan Real Madrid meliputi pengalaman pelatih Carlo Ancelotti. Ancelotti dikenal sebagai "spesialis Champions League" dengan raihan empat gelar bersama dua klub berbeda. Jam terbangnya di kompetisi ini tentu jauh di atas pelatih Dortmund saat ini. Meski bermain di Wembley yang notabene bukan markas mereka, aura Liga Champions yang sudah terbiasa dirasakan pemain Real Madrid bisa menjadi keuntungan tersendiri, terlebih jika dibandingkan dengan skuad Dortmund. Meskipun demikian, Dortmund bukanlah lawan yang bisa dianggap remeh. Performa mereka sepanjang kompetisi terbilang impresif, dengan lini belakang yang kokoh dan semangat pantang menyerah. Dukungan penuh dari fanatik mereka, "Yellow Wall", diyakini bisa menciptakan atmosfer mencekam yang membuat Real Madrid tidak nyaman. Pada akhirnya, yang keluar sebagai juara ditentukan oleh tim yang mampu menjalankan strategi dengan lebih baik dan bisa mengatasi tekanan pertandingan final. Mampukah Real Madrid melanjutkan dominasi mereka di Eropa, atau akankah Dortmund menghadirkan kejutan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H