Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD merupakan momen penting dalam sejarah hukum dan politik di Indonesia.Â
Putusan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai proses hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan tinggi tersebut dalam menyelesaikan sengketa yang memiliki dampak besar terhadap pemerintahan, sistem demokrasi negara, dan tentunya masa depan Indonesia. Pada tanggal 12 April 2024, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh kedua pasangan calon (paslon).Â
MK menyatakan bahwa dalil yang diajukan oleh tim kuasa hukum kedua paslon tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat, sehingga tidak dapat diterima dalam konteks hukum yang berlaku. Dampak dari putusan MK ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman masyarakat mengenai proses hukum dan pengambilan keputusan yang berbasis hukum di Indonesia.Â
Selain itu, putusan ini juga memberikan arah yang jelas mengenai batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum (pemilu) yang melibatkan calon-calon dengan perbedaan pandangan dan argumentasi. Dalam konteks sejarah, putusan MK ini mengingatkan kita pada kasus serupa yang terjadi di Amerika Serikat (AS), yang juga terkait dengan sengketa yang mirip.
Kasus Bush v. Gore: Keputusan dengan Peran Besar dalam Evolusi Politik AS
Bush v. Gore, 531 US 98 (2000), merupakan keputusan penting Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) pada 12 Desember 2000, yang menyelesaikan perselisihan penghitungan ulang dalam pemilihan presiden (pilpres) AS tahun 2000 di negara bagian Florida antara calon presiden George W. Bush dari Partai Republik dan Al Gore dari Partai Demokrat.Â
Sebelumnya, keputusan Mahkamah Agung Florida pada 8 Desember 2000 untuk memerintahkan pencoblosan kembali di seluruh negara bagian atas lebih dari 61.000 suara, yang terlewatkan oleh mesin penghitung suara menjadi awal dari sengketa hukum ini. Tim kampanye Bush pun meminta penangguhan dari SCOTUS, atas advokasi dari Hakim Agung Antonin Scalia, yang menganggap adanya kekhawatiran tentang legitimasi penghitungan ulang manual di berbagai wilayah Florida tersebut. Pada tanggal 9 Desember 2000, SCOTUS dengan lima hakim konservatif, termasuk Scalia, memberikan penangguhan tersebut dengan basis pada potensi "kerugian yang tidak dapat diperbaiki" terhadap legitimasi Bush akibat penghitungan ulang yang sedang berlangsung.
Selanjutnya, dalam keputusan per curiam 5 lawan 4 suara, SCOTUS meminta penghentian pencoblosan kembali dengan mengutip dasar perlindungan yang sama dan menyatakan bahwa standar perhitungan yang berbeda di berbagai wilayah melanggar Pasal Perlindungan yang Sama pada Amandemen Ke-14 dan dasar yurisdiksi Pasal II dari Konstitusi AS.Â
Mayoritas hakim SCOTUS menolak usulan perbaikan yang diajukan oleh Hakim Agung Stephen Breyer dan David Souter untuk menyelesaikan pencoblosan kembali secara seragam di seluruh negara bagian Florida sebelum pertemuan Kolese Elektoral pada 18 Desember 2000, dengan mengutip batas waktu "safe harbor" yang ditetapkan pada Undang-Undang (UU) Pemilu Florida. Putusan SCOTUS dalam kasus Bush v. Gore ini memiliki dampak yang luas, termasuk memungkinkan sertifikasi suara Florida oleh Sekretaris Negara Bagian, Katherine Harris untuk tetap berlaku dan memberikan Bush sebanyak 25 suara elektoral yang krusial dari Florida. Kemenangan elektoral ini mengamankan kepresidenan Bush dengan 271 suara elektoral, sedikit di atas 270 suara minimum yang dibutuhkan, sementara Al Gore, kandidat Demokrat, mendapatkan 267 suara elektoral tetapi akhirnya hanya 266 karena adanya "faithless elector".Â
Pilpres AS 2000: Dari Kontroversi hingga Tantangan dalam Sistem Pemilu
Amerika Serikat menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden setiap empat tahun melalui sistem dengan pemilih memilih para elektor yang kemudian menentukan kandidat melalui dewan konstitusional yang disebut Kolese Elektoral.Â
Proses ini diatur oleh Pasal II dari Konstitusi AS, yang memberikan wewenang kepada badan legislatif negara bagian untuk menentukan cara pemilihan yang akan digunakan para pemilih. Undang-undang terbaru di sebagian besar negara bagian, termasuk Florida akan memberikan seluruh suara elektoral kepada kandidat dengan jumlah suara terbanyak (pemenang pilpres) di negara bagian tersebut. Selama pilpres tahun 2000 di Florida, George W. Bush menang dengan 48,8% suara populer, memimpin dengan selisih hanya sebanyak 1.784 suara.Â
Marjin tersebut kurang dari 0,5% dari suara yang diberikan, sehingga perlu dilakukan penghitungan ulang dengan mesin otomatis sesuai ketentuan pada undang-undang. Pada tanggal 10 November 2000, dengan penghitungan ulang yang tampaknya telah selesai di semua kecuali satu daerah, marjin kemenangan Bush menurun menjadi 327 suara.
Meskipun beberapa daerah tidak menyelesaikan penghitungan ulang dengan mesin sebagaimana diwajibkan secara hukum, tidak ada tantangan resmi yang diajukan oleh kampanye Gore. Undang-undang pemilu Florida mengizinkan kandidat untuk meminta penghitungan ulang secara manual di wilayah tertentu, dan Al Gore meminta penghitungan ulang secara manual di empat wilayah yang didominasi Partai Demokrat dan diketahui berpotensi mendukungnya.Â
Akan tetapi, tantangan muncul karena tenggat waktu sertifikasi untuk pengembalian hasil pemilu hanya tujuh hari, dan beberapa daerah tidak dapat memenuhi tenggat waktu tersebut karena berbagai alasan.Â
Sekretaris Negara Bagian, Katherine Harris diberi keleluasaan untuk menetapkan kriteria keterlambatan dalam pengajuan dan menolak permintaan perpanjangan, serta mengumumkan niatnya untuk mengesahkan hasilnya pada tanggal 18 November 2000 setelah menerima pengembalian resmi surat suara dari pemilih di luar negeri. Namun, gugatan hukum dan banding menyebabkan penundaan, sehingga Mahkamah Agung Florida akhirnya mengizinkan penghitungan ulang manual untuk dilanjutkan dan menunda sertifikasi hingga 26 November 2000.
Reaksi dan Dampak Keputusan Bush v. Gore dalam Politik AS
Bush v. Gore, yang dianggap sebagai kasus yang menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang signifikan, mendapatkan banyak tinjauan kritis dari pakar hukum dan kritikus politik. Inti perdebatannya meliputi keputusan SCOTUS mengenai penyelesaian pelanggaran Klausul Perlindungan Setara. Daripada memerintahkan penghitungan ulang baru seperti yang diminta oleh Gore, SCOTUS malah menghentikan proses pemilu.Â
Keputusan ini didasarkan pada penafsiran pendapat Mahkamah Agung Florida mengenai batas waktu 12 Desember 2000 dan manfaat dari provisi hukum "safe harbor", yang masih menjadi kontroversi dan perdebatan di kalangan pakar hukum tersebut. Para pengkritik berpendapat bahwa keterlibatan SCOTUS, khususnya para hakim yang berhaluan konservatif, memiliki motivasi politik dan menimbulkan pertanyaan mengenai ketidakberpihakan lembaga peradilan.Â
Dampak keputusan tersebut terhadap kepercayaan publik terkait sistem peradilan dan integritas pemilu juga masih terus menjadi subyek analisis dan kritik, dan beberapa pihak berpendapat bahwa SCOTUS telah melewatkan kesempatan untuk mengatasi permasalahan yang lebih luas dalam proses pemilu, yang pada akhirnya meningkatkan skeptisisme dan kritik terhadap peran SCOTUS. dalam menyelesaikan perselisihan pemilu.
Editorial di surat kabar terkemuka di AS juga sangat kritis terhadap keputusan tersebut. Tinjauan yang dilakukan oleh The Georgetown Law Journal menemukan bahwa surat kabar terkemuka di AS, berdasarkan sirkulasi, telah menerbitkan 18 editorial yang mengkritik keputusan tersebut dibandingkan dengan hanya enam yang mendukung/memuji.Â
Selain itu, surat kabar tersebut juga menerbitkan 26 editorial opini yang mengkritik keputusan tersebut, dibandingkan hanya delapan opini yang membela keputusan tersebut. Jajak pendapat juga menunjukkan beragam reaksi, dengan 37--65% responden percaya bahwa motivasi politik pribadi memengaruhi keputusan hakim SCOTUS.Â
Jajak pendapat dari Princeton Survey mencatat 46% responden mengatakan bahwa keputusan tersebut membuat mereka lebih cenderung mencurigai adanya bias partisan pada hakim dalam sistem peradilan di AS secara umum. Jajak pendapat NBC News/Wall Street Journal menunjukkan bahwa 53% responden percaya bahwa keputusan untuk menghentikan penghitungan ulang sebagian besar didasarkan pada motivasi politik.Â
Lebih lanjut, suatu artikel dari majalah Slate pada tahun 2010 mencantumkan kasus ini sebagai yang pertama dari serangkaian peristiwa yang mengikis kepercayaan masyarakat AS terhadap hasil pemilu, dan mencatat bahwa jumlah tuntutan hukum yang diajukan terkait isu pemilu meningkat lebih dari dua kali lipat sejak kasus Bush v. Gore pada tahun 2000.
Bush v. Gore: Pelajaran Penting untuk Indonesia dalam Konteks Politik dan Hukum
Meskipun pada akhirnya argumen bahwa sistem pemilu dan peradilan, serta kondisi politik di AS jauh berbeda dengan Indonesia, kita tetap dapat mengambil beberapa pelajaran dari isu Bush v. Gore untuk memperkuat proses pemilu dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi pada masa mendatang, sehingga kepercayaan publik tidak akan terkikis seperti yang terjadi di AS. Indonesia harus lebih jeli dalam memastikan bahwa undang-undang pemilu selalu bersifat relevan, transparan, dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan untuk dapat membantu mencegah kebingungan dan tantangan hukum selama atau setelah pemilu.Â
Kasus Bush v. Gore menyoroti pentingnya menjaga peradilan yang tidak memihak, bebas dari pengaruh atau bias politik. Indonesia harus secara konsisten menekankan independensi peradilan dan memastikan bahwa hakim yang mengadili perselisihan pemilu dianggap netral dan tidak tergabung dengan partai politik manapun, seperti yang terjadi di AS. Penyelesaian sengketa pemilu yang cepat dan efisien sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu itu sendiri.Â
Indonesia harus selalu konsisten dalam menetapkan jadwal dan mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan perselisihan, termasuk ketentuan untuk mempercepat proses dengar pendapat dan pengambilan keputusan untuk menghindari ketidakpastian yang berkepanjangan dan potensi kerusuhan. Meningkatkan transparansi dalam proses pemilu, termasuk penghitungan suara, prosedur penghitungan ulang, dan sertifikasi hasil dapat meningkatkan kepercayaan publik. Indonesia harus selalu menerapkan langkah-langkah seperti keberadaan saksi, prosedur penanganan surat suara yang transparan, dan akses publik terhadap data pemilu untuk mendorong akuntabilitas dan keadilan.Â
Pada akhirnya, kasus Bush v. Gore menggarisbawahi pentingnya kesiapsiagaan menghadapi kontinjensi dan keadaan tak terduga selama pemilu. Indonesia harus tidak pernah berhenti dalam mengembangkan rencana darurat, termasuk protokol untuk kemungkinan penghitungan ulang, gugatan hukum, dan intervensi peradilan untuk memastikan kelancaran pelaksanaan pemilu bahkan dalam situasi yang menantang. Dengan belajar dari kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam kasus Bush v. Gore, Indonesia dapat memperkuat sistem pemilu, mendorong nilai-nilai demokrasi, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas proses pemilu dan sistem peradilan di negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H