Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dilema Garuda Indonesia: Terikat Aliansi, Kehilangan Identitas

9 April 2024   17:32 Diperbarui: 9 April 2024   17:44 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembaruan Sertifikasi Bintang Lima dari Skytrax terhadap Garuda Indonesia Tahun 2018 (Andri Donnal Putera via KOMPAS.com)

Pertimbangan Penting dan Perspektif Data: Pemeriksaan Lebih Dalam

Penting untuk mengetahui konteks sebelum dan setelah Garuda Indonesia membuat keputusan untuk bergabung dengan SkyTeam. Pada Desember 2013, maskapai ini terbang ke 20 tujuan internasional secara mandiri dan memiliki perjanjian codeshare yang menghubungkan ke 26 tujuan lainnya. Bergabung dengan SkyTeam, efektif Maret 2014, menjanjikan perluasan jaringan yang signifikan ke 1.064 tujuan di 178 negara. Persiapan melibatkan penerapan Sistem Layanan Penumpang baru, investasi besar yang bertujuan untuk memastikan kompatibilitas aliansi. Sementara analisis pendapatan operasi Garuda antara 2011-2013 (pra-SkyTeam) dan 2015-2019 (pasca-SkyTeam) menunjukkan peningkatan sekitar 20%, kondisi ini sebenarnya memberikan gambaran yang tidak lengkap. Melihat lebih dekat pada metrik utama mengungkapkan alasan lain yang sebenarnya mengkhawatirkan.

  1. Pada 2019, Garuda Indonesia melayani rute yang tidak jauh lebih banyak (22 internasional, 48 domestik) dari jaringan pra-aliansinya. Hal ini tidak menunjukkan adanya potensi peningkatan jaringan meskipun ada janji ekspansi melalui SkyTeam.

  2. Faktor muatan penumpang Garuda Indonesia, yang menjadi tolak ukur efisiensi, berkisar antara 74-75,9% sebelum aliansi. Sejak bergabung, metrik ini mengalami stagnasi, bahkan menurun menjadi 73,83% pada tahun 2016, menunjukkan bahwa kapasitas tambahan mungkin tidak diterjemahkan ke dalam volume penumpang yang lebih tinggi secara proporsional.

  3. Yang paling mengkhawatirkan, marjin EBITDA Garuda Indonesia telah menurun dari rata-rata 7,25% sebelum aliansi menjadi 5,01% setelah aliansi. Marjin laba bersihnya bahkan lebih buruk, menurun dari 2-3% per tahun menjadi kurang dari 1%.

Di Luar Angka: Masalah Tata Kelola

Kasus yang memberatkan keanggotaan Garuda Indonesia di SkyTeam menjadi semakin kuat ketika mempertimbangkan masalah tata kelola perusahaan yang serius yang muncul sejak maskapai tersebut bergabung dengan aliansi. Skandal-skandal ini meragukan kepatuhan perusahaan terhadap standar global dan menimbulkan masalah etika. Pada 2017, mantan CEO Garuda Indonesia, Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembelian pesawat selama masa jabatannya. Kementerian Keuangan Indonesia memberikan sanksi kepada Garuda Indonesia dan auditornya atas kesalahan pelaporan pada tahun 2018, yang menunjukkan pengawasan keuangan yang buruk. Berbagai tuduhan pelecehan seksual terhadap pramugari Garuda oleh manajemen senior telah menodai reputasi maskapai dan menimbulkan pertanyaan tentang budaya tempat kerja dari Garuda Indonesia. Skandal-skandal ini menunjukkan bahwa penekanan pada kepatuhan dan pemenuhan standar aliansi mungkin telah dikesampingkan untuk prioritas lain, berpotensi merusak manfaat yang dijanjikan dari keanggotaan SkyTeam. Orang dapat berargumen bahwa peningkatan pendapatan operasional merupakan indikator positif, dan iklim ekonomi global mungkin telah memengaruhi beberapa tren negatif. Penting juga untuk dicatat bahwa analisis ini tidak memperhitungkan dampak penuh dari pandemi COVID-19 pada tahun-tahun berikutnya, yang secara drastis mempengaruhi seluruh industri penerbangan. Bahkan setelah pandemi COVID-19, Garuda Indonesia belum benar-benar pulih ke posisinya sebagai salah satu maskapai penerbangan terpenting dan terbesar di kawasan Asia Pasifik.

Jalan ke Depan: Penilaian Ulang Arah Strategis Garuda Indonesia

Kasus keanggotaan SkyTeam Garuda Indonesia mendorong diskusi yang lebih luas tentang arah strategis keseluruhan maskapai. Muncul pertanyaan-pertanyaan kunci. Bisakah Garuda berhasil bersaing sebagai maskapai penerbangan layanan penuh di pasar yang didominasi oleh maskapai berbiaya murah, dan apakah model hibrida akan lebih cocok? Kemitraan strategis apa, di luar kerangka SkyTeam, yang dapat memperkuat posisi Garuda di kawasan Asia-Pasifik? Bagaimana Garuda Indonesia dapat lebih memanfaatkan identitas nasional dan budaya layanannya yang unik untuk menonjol di pasar global yang kompetitif? Keputusan untuk bergabung dengan aliansi maskapai penerbangan global merupakan hal yang kompleks, tanpa ada jawaban yang pasti dan mudah ditemukan. Meskipun aliansi menawarkan potensi keuntungan, sangat penting bagi maskapai penerbangan untuk menilai secara kritis kesesuaian strategis, proposisi nilai spesifik, dan potensi kelemahannya. Dalam kasus Garuda Indonesia, argumen yang meyakinkan dapat dibuat bahwa jalur yang berfokus pada kemandirian strategis, kemitraan yang disesuaikan, dan penekanan tanpa henti pada kekuatan uniknya mungkin telah menawarkan potensi yang lebih besar untuk kesuksesan jangka panjang dan kemampuan untuk melayani dengan lebih baik kebutuhan pasar Indonesia yang terus berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun