Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks Beras Indonesia: Anti-Komunisme, Intervensi Ekonomi, dan Perjuangan untuk Swasembada Pangan

1 Maret 2024   18:50 Diperbarui: 1 Maret 2024   21:55 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani dalam Panen Padi (KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI via KOMPAS.id)

Beras lebih dari sekadar biji-bijian di Indonesia; beras adalah landasan budaya, simbol keberlangsungan hidup, dan medan pertempuran politik. Perjuangan bangsa untuk menyeimbangkan harga beras yang terjangkau dengan keinginan untuk swasembada mengungkapkan paradoks yang relatif unik. 

Anti-komunisme Indonesia yang mengakar, lahir dari trauma sejarah, secara tidak sengaja telah menyebabkan adopsi kebijakan yang menyerupai unsur-unsur model ekonomi komunis yang ditolak sejak lama dengan keras. Kontradiksi ini memainkan peran penting dalam melambungnya harga beras yang membebani jutaan rakyat Indonesia di tengah hiruk-pikuk politik pasca-pemilu.

Hantu Komunisme dan Warisan Intervensi

Pembersihan kekerasan tahun 1965-66, yang menargetkan orang-orang yang diduga dan simpatisan komunis, tetap menjadi tanda yang tak terhapuskan dalam memori kolektif dari masyarakat Indonesia. Komunisme menjadi terkait erat dengan kekacauan sosial, ketidakstabilan, dan sentimen anti-agama. Hal ini juga sangat membentuk arah politik Indonesia, mengarah pada ketidakpercayaan yang mendarah daging terhadap perencanaan ekonomi terpusat dan penolakan kuat terhadap apa pun yang dianggap mirip dengan ideologi komunis. 

Akan tetapi, keinginan untuk swasembada, khususnya di sektor produksi beras yang vital, membawa gema ekonomi terencana yang sering dikaitkan dengan rezim komunis. Ambisi ini bermanifestasi dalam berbagai intervensi pemerintah di pasar beras, didorong oleh ketakutan akan ketergantungan pada sumber makanan eksternal dan keyakinan bahwa negara harus memainkan peran utama dalam memastikan ketahanan pangan.

Untuk melindungi petani beras dalam negeri, Indonesia memberlakukan pembatasan impor yang cukup ketat, tetapi bukan berarti impor tidak pernah menjadi opsi dari pemerintah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk secara artifisial membuat beras lokal lebih kompetitif dan seolah-olah mendorong produksi dalam negeri yang lebih besar. Meskipun bertujuan untuk memperkuat sektor pertanian, pembatasan ini memiliki serangkaian konsekuensi yang tidak diinginkan. 

Dengan melindungi petani dari persaingan internasional, dorongan untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi sangat berkurang. Produksi beras dalam negeri tetap relatif tidak efisien, dan akibatnya, biayanya tetap tinggi. Lebih lanjut, pembatasan impor menciptakan kerentanan terhadap guncangan pasokan di Indonesia. Setiap gangguan pada produksi dalam negeri, seperti yang disebabkan oleh kekeringan, banjir, atau wabah hama, akan melambungkan harga karena pasokan yang dibatasi secara artifis semakin berkurang.

Subsidi yang Salah Kaprah dan Ironi Dogma Ekonomi

Fokus pemerintah Indonesia pada swasembada juga meluas pada subsidi besar-besaran untuk faktor produksi pendukung dalam sektor pertanian, terutama pupuk dan pestisida. Meskipun dirancang untuk menurunkan biaya bagi petani, subsidi ini sering kali terbukti kontraproduktif. Alih-alih menguntungkan para petani yang dituju, subsidi ini justru kerap melapisi kantong para tengkulak dan memicu distorsi pasar. 

Penggunaan bahan kimia yang berlebihan, sebagian didorong oleh biayanya yang rendah secara artifisial, menimbulkan risiko jangka panjang bagi kesuburan tanah dan kualitas air, merusak keberlanjutan produksi beras yang seharusnya didukung oleh subsidi tersebut. Lebih lanjut, ironi terbesar terletak pada kenyataan bahwa Indonesia, dalam penolakannya yang keras terhadap komunisme, tanpa sadar mencerminkan beberapa praktik ekonominya yang paling merusak. 

Bayang-bayang hasil bencana dari kolektivisme paksa dan perencanaan sentral yang kaku di negara-negara komunis juga ditemukan di negara ini. Indonesia secara tidak sengaja menekan dinamisme dan efisiensi sektor berasnya melalui ketidakpercayaan yang sama terhadap kekuatan pasar dan keyakinan pada intervensi pemerintah yang berat.

Rakyat Indonesia menanggung beban dari kebijakan-kebijakan yang bermaksud baik tetapi salah kaprah tersebut. Ketika harga beras naik, segmen populasi yang paling rentan merasakan penderitaan terdalam. Keluarga berpenghasilan rendah dipaksa untuk menghabiskan porsi pendapatan mereka yang semakin besar untuk makanan pokok ini, yang mengarah pada pengorbanan di bidang penting lainnya seperti pendidikan dan perawatan kesehatan. 

Dalam kasus-kasus parah, keluarga mengurangi jumlah makan atau beralih ke bahan pengganti berkualitas rendah dan kurang bergizi, sehingga melanggengkan lingkaran setan kemiskinan dan kekurangan gizi. Situasi krisis beras ini menjadi sangat mengerikan, terutama di daerah pedesaan yang masih bergantung pada pertanian padi untuk mata pencaharian mereka.

Petani, terutama petani kecil, merasa semakin tidak mampu bersaing karena harga beras yang ditekan dan biaya produksi yang meningkat. Hal ini memperburuk kemiskinan pedesaan dan mendorong eksodus ke pusat-pusat kota yang padat penduduk untuk mencari peluang yang semakin berkurang.

Menuju Masa Depan Beras yang Berkelanjutan: Pragmatisme dan Solusi Berorientasi Pasar

Jalan untuk menyelesaikan dilema beras Indonesia akan membutuhkan tindakan penyeimbangan yang rumit -- mengakui kecemasan mendalam tentang ketahanan pangan yang lahir dari trauma sejarah dan pengalaman masa lalu dengan pasar global yang bergejolak, sambil secara bertahap merangkul solusi berbasis pasar untuk mencapai stabilitas sejati. Di sinilah fokus dan prioritas perlu diubah.

  • Dukungan Bertarget dan Cerdas

Fokus harus beralih dari subsidi input menyeluruh ke bantuan yang ditargetkan untuk petani yang paling rentan. Hal ini termasuk investasi besar dalam infrastruktur seperti fasilitas irigasi dan penyimpanan, penelitian dan pengembangan pertanian yang disesuaikan untuk meningkatkan hasil secara berkelanjutan, serta memberikan pelatihan komprehensif tentang praktik pertanian modern dan lebih efisien. Program dukungan langsung, yang bergantung pada pengelolaan lingkungan, dapat lebih jauh meredam transisi ke penetapan harga berbasis pasar.

  • Melibatkan Sektor Swasta

Mendorong investasi sektor swasta dalam sistem pengolahan, penyimpanan, dan distribusi beras akan sangat penting dalam menciptakan efisiensi di seluruh rantai pasokan. Mengurangi kerugian pasca-panen, yang sering menjadi masalah utama di negara berkembang, dan memastikan kelancaran transportasi dan akses pasar yang andal bagi petani akan menstabilkan pasokan dan mengurangi fluktuasi harga yang tajam.

  • Pentingnya Diversifikasi

Meskipun beras tidak diragukan lagi akan tetap menjadi bagian penting dari pertanian dan kuliner Indonesia, tingkat diversifikasi makanan dapat mengurangi tekanan pada produksi beras. Mempromosikan penanaman yang lebih luas untuk biji-bijian dan tanaman alternatif yang cocok dengan iklim lokal dapat menambah ketahanan yang sangat dibutuhkan pada sistem pangan dan memberi petani aliran pendapatan tambahan.

Melampaui Paradoks: Sektor Beras untuk Masa Depan

Tingginya harga beras di Indonesia merupakan masalah multifaset yang berakar pada sejarah, ideologi, dan intervensi ekonomi yang bermaksud baik tetapi salah tempat. Mengurai kompleksitas ini akan membutuhkan pendekatan pragmatis, pengakuan atas kesalahan langkah di masa lalu, serta kemauan untuk beralih dari kebijakan yang didasarkan pada ketakutan dan kecemasan sejarah menuju solusi yang didasarkan pada realitas pasar dan dukungan yang ditargetkan bagi mereka yang paling membutuhkan. 

Hanya dengan mengakui sifat kontraproduktif dari intervensi saat ini, sambil memahami alasan di baliknya, Indonesia dapat menempa jalan yang benar-benar berkelanjutan menuju sektor beras yang terjangkau, mudah diakses, dan tangguh -- sektor yang menguntungkan petani, konsumen, dan kesehatan bangsa secara keseluruhan terutama dengan adanya visi Indonesia Maju 2045.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun