Sistem demokrasi di Indonesia mendorong skeptisisme yang sehat dan keterlibatan dari semua warga negara secara aktif. Akan tetapi, ketika kritik terhadap institusi politik, pemimpin, dan proses pemerintahan tidak didasarkan pada pemahaman yang memadai tentang konstitusi, kerangka hukum, dan tanggung jawab etis pemerintahan, kritik tersebut malah menjadi kontraproduktif. Walaupun data numerik yang secara spesifik mengukur fenomena ini sulit didapat, tren yang terjadi saat ini mengindikasikan kebutuhan mendesak akan kesadaran yang lebih luas dan wacana sipil yang berdasarkan informasi.
Survei terbaru menunjukkan adanya indikasi potensi terputusnya hubungan positif dari sentimen publik terhadap pemerintah Indonesia. Survei dari Polling Institute 2023 mengungkapkan bahwa terdapat 34,5% orang Indonesia yang menyatakan tidak puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Edelman Trust Barometer 2023 yang menempatkan Indonesia dengan skor indeks kepercayaan terhadap pemerintah sebesar 76%, juga menyoroti kepercayaan terhadap institusi pemerintah yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor swasta.
Meskipun survei-survei ini tidak secara langsung menunjukkan kritik yang tidak berdasar, angka-angka ini mencerminkan lingkungan dengan banyak negativitas, bahkan ketika terlepas dari fakta konkret, kebijakan, atau realitas hukum.
Lalu, apa yang menyuburkan tren ini hingga berkembang seperti saat ini? Mari kita periksa beberapa faktor yang berkontribusi!
Menerangi Ruang Gema: Keseimbangan antara Kebebasan Berekspresi dengan Misinformasi/Disinformasi
Ketika individu kurang memahami konstitusi Indonesia, kompleksitas pembuatan undang-undang yang berlapis-lapis, atau sistem pengawasan dan keseimbangan yang mendasari kinerja pemerintah, mereka jadi cenderung melakukan penyederhanaan yang berlebihan dan interpretasi yang keliru. Kritikus tanpa fondasi ini rentan mengeluarkan kritik tanpa substansi ataupun pemahaman yang kuat mengenai akar masalah.
Lebih lanjut, platform media sosial sering melanggengkan ruang gema (echo chamber), disertai dengan fakta yang dipilih-pilih, serta perspektif yang menyimpang dan beredar tanpa filter. Di ruang-ruang tersebut, bias konfirmasi berkembang, opini tak berdasarkan informasi dengan cepat mendapatkan daya tarik, serta semakin banyak publik mengabaikan percakapan yang bernuansa atas data dan fakta.
Kondisi ini diperparah dengan semakin berkurangnya kepercayaan pada institusi pemerintahan. Skandal yang melibatkan tokoh politik, maraknya inefisiensi birokrasi, dan kegagalan historis memicu kekecewaan yang meluas terhadap pemerintah secara keseluruhan. Walaupun terkadang beralasan, sinisme ini menciptakan iklim dengan segala bentuk kritik, yang terlepas dari validasi penting dan akhirnya cenderung diterima bahkan diperkuat oleh masyarakat.
Memahami Bahaya Kritik yang Tidak Berdasar: Dampak Negatif terhadap Demokrasi Indonesia
Negativitas tak berdasar yang menyebar ini pada akhirnya menghadirkan potensi bahaya serius bagi demokrasi di Indonesia.
Pertama, munculnya hiper-polarisasi dan kebuntuan politik. Kritik yang tidak berdasarkan informasi faktual dan berakar pada reaksi emosional tanpa kerangka fakta atau hukum memicu narasi ekstrem. Hal ini menghambat dialog yang berarti dan pencarian titik temu, serta mengakibatkan kebuntuan politik dalam pencarian solusi kebijakan yang sangat dibutuhkan.
Kedua, permasalahan yang valid menjadi terabaikan. Ketika perbincangan publik digeneralisir hingga menjadi rentetan komentar negatif tak berdasar, isu-isu nyata yang menuntut pengawasan dari pihak berwenang berisiko diabaikan. Kondisi ini memudahkan pihak yang berkuasa untuk menampik, mengalihkan, dan meminimalisir kritik atau tuntutan pertanggungjawaban yang layak diterima.
Ketiga, apatisme dan disengagement menjadi semakin marak. Warga yang lebih logis yang terus-menerus melihat banyaknya kritik yang tidak berdasar, tanpa sarana yang mudah diakses untuk memahami atau memanfaatkan jalur hukum dan etis untuk perubahan, merasakan ketidakberdayaan. Hal ini akhirnya berakibat pada sikap apatis publik dan penarikan diri dari partisipasi aktif dalam ranah sipil, serta mengikis fondasi demokrasi yang berkembang.
Perlu ditekankan kembali bahwa kritik keras terhadap pemerintah tetap menjadi hak inti dan merupakan hal penting dalam demokrasi yang sehat. Akan tetapi, suara-suara aktif tersebut akan menghasilkan potensi yang lebih baik untuk perubahan positif jika dikombinasikan dengan pemahaman yang menyeluruh.
Jadi, bagaimana orang Indonesia dapat mendorong wacana politik yang lebih kritis dan produktif?
Membangun Demokrasi yang Sehat: Menuju Komentator Politik yang Bertanggung Jawab
Upaya-upaya untuk memunculkan kondisi dunia politik dan melahirkan “komentator” politik yang bertanggungjawab dapat dilakukan dengan mencoba menyelesaikan akar-akar masalah di atas, antara lain sebagai berikut.
- Pendidikan sebagai Pemberdayaan: Mempromosikan pemahaman luas tentang konstitusi Indonesia, sistem hukum, dan fungsi pemerintahan menjadi kunci. Edukasi kewarganegaraan perlu diakses mudah melalui program pembelajaran formal dan informal untuk menciptakan masyarakat yang terdidik.
- Memerangi Disinformasi dengan Literasi Media: Membekali warga dengan kemampuan menganalisis, menilai, dan memahami keandalan sumber informasi merupakan hal yang tidak tergantikan. Memberdayakan mereka untuk menantang narasi, mendeteksi potensi misinformasi, dan menuntut bukti menumbuhkan lingkungan dengan fakta yang selalu mendasari debat.
- Partisipasi Etis dan Tindakan Konstruktif: Menekankan jalur hukum dan konstitusional untuk menunjukkan perbedaan pendapat atau penolakan perlu diperhatikan. Mendorong partisipasi dalam pemilihan umum, protes damai, dan komunikasi yang bertanggungjawab dengan pejabat terpilih dapat mengubah opini publik menjadi tekanan nyata yang fokus untuk mendorong reformasi dan pertanggungjawaban.
Dengan kata lain, praktik kritik tak berdasar yang meluas melampaui sekadar negativitas semata sudah seharusnya menjadi bagian dari era reformasi di Indonesia. Kondisi yang dapat merusak potensi kemajuan sistemik dan keterlibatan yang konstruktif antara warga negara dan pemerintah hanya dapat dihilangkan jika rakyat Indonesia memprioritaskan pengetahuan tentang hak sipil dan hukum, serta standar etika dalam pemerintahan yang baik dan menjadi pejuang untuk demokrasi yang dinamis dan kuat.
Hanya dengan begitu, budaya debat yang penuh informasi dapat menggantikan sekedar sinisme kosong dan akhirnya memastikan Indonesia mencapai potensi penuh yang dimiliki untuk menjadi negara yang sejahtera dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H