Tahun 2211 M (disaat kita semua yang sedang online hari ini telah dibawah tanah)
Sekelompok anak muda sedang bercengkrama. Hingga mereka membahas sejarah 200 tahun lampau. Seorang diantara mereka berkata : “Tahun 1900 hingga tahun 2000 an terdapat banyak perubahan. Salah satu diantaranya adalah perkembangan teknologi informasi, internet, hingga facebook”.
Si X berkata : “Kata nenekku, konon buyutku paling gemar bikin status difacebook”
Si Y berkata : “Kata opaku, konon buyutku paling suka berdebat di facebook”
Si Z berkata : “Kata omaku, konon buyutku selalu curhat mempublikasikan persoalan pribadinya di facebook.
Si A berkata kepada si X : “wajar,soalnya buyutmu dulu hidup diantara peralihan zaman. Yaitu dimasa kecilnya masih menggunakan permainan tradisional kemudian dewasa bersentuhan dengan internet. Jadi semacam shock culture lah. Dan itu lebih baik ketimbang saya yang sudah tidak tahu siapa buyutku yang hidup 200 tahun lalu karena buyutku tidak mewariskan silsilah kepada kami”
Si B berkata pada si Y : “kemungkinan buyutmu itu kurang teman jadi miskin empati”
Si C berkata kepada si Z : “kemungkinan buyutmu itu gagal membedakan dunia nyata dan dunia maya”.
Si X berkata pada si A : “ ah tidak…………..dst” (sambil membela buyutnya dan menyalahkan buyut si X karena tidak mewariskan silsilah untuk keturunannya)
Si Y berkata pada si B : “ah tidak…………….dst” (sambil membela buyutnya karena mengingat pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”)
Si Z berkata pada si C : “ah tidak…………….dst” (sambil membela buyutnya karena merasa dari ras arya)
Jauh dibawah tanah, para buyut A,B,C,X,Y dan Z (yang bisa jadi kita sendiri) hanya termangu melihat cicit mereka memperdebatkan mereka.
Tahun 2011 M (dua ratus tahun sebelum cicit-cicit menggosipi kita)
Banyak peristiwa yang terjadi di dunia maya, mulai dari informasi sepakbola, kerja tugas, download film tabu, berdiskusi, komunikasi antar komunitas, main game jaringan, berdebat, bahkan mendapat jodoh (walaupun ternyata sesama jenis).
Diantara mereka ada yang berpikir positif. Menggunakan teknologi informasi sebagai sarana berbagi pengetahuan tentang sejarah dan budaya mereka yang tidak didapatkan dibangku sekolahnya. Dan tanpa mereka sadari, mereka telah menggoreskan sejarah dan menciptakan kebudayaan baru yang kelak anak cucunya akan membincang sebagaimana mereka membincang leluhurnya.
Terlepas dari RUANG DAN WAKTU
Membahas sejarah memang unik. Satu sisi ia bersifat pasti. Sebab peristiwa pada waktu dan tempat yang sama itu tunggal. Sehingga seiring perjalanan waktu, maka kebenaran sejarah itu satu. Tapi disisi lain, sejarah juga bersifat tidak pasti. Sebab tidak semua peristiwa sejarah ditulis secara paripurna oleh satu orang. Hal ini mengakibatkan perbedaan kualitas penulisan sejarah dan sumber penulisannya sendiri. Walaupun (diandaikan) ada peristiwa sejarah yang bisa ditulis secara paripurna dan penulisan tunggal (tidak ada versi lain), maka penafsiran pun bisa jadi berbeda.
Artinya, sejarah bukanlah kebenaran mutlak yang harus diyakini sebagaimana agama.
Agama menyebut sejarah sebagai pelajaran. Ini berarti, akan sia-sia kita belajar sejarah jika tidak mendapat pelajaran dari peristiwa sejarah. Persoalannya sekarang adalah apakah kita ingin jujur dan terbuka terhadap sejarah (yang tidak selamanya manis) ? dan apakah kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita sedang membuat sejarah yang kelak anak cucu kita akan perbincangkan ?
Kelak kita di alam kubur akan mempertanggungjawabkan “sejarah” perbuatan kita selama didunia sambil menunggu hari kebangkitan, sementara anak cucu kita sebagian akan membanggakan kita sebagai leluhurnya, dan sebagian lagi akan mencela kita. Sebab kita juga manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H