Semoga kita diberikan berkat dan rahmat yang tiada tara oleh Tuhan YME sehingga kita dapat terus meluaskan ilmu yang kita punya, bukan lagi sekedar menggali ilmu sampai dapat.
Pada kesempatan yang berbahagia kali ini, mari sedikit mengulik kedigdayaan manusia sebagai salah satu makhluk hidup di angkasa raya yang memiliki ketrampilan spesial, yaitu berpikir. Berabad-abad yang lalu, beberapa filsuf Yunani kuno dan beberapa peradaban awal manusia membuat tesis apa yang sebenarnya membedakan manusia dengan hewan, walaupun memiliki rupa fisik yang hampir-hampir sama.Â
Aristoteles menganggap bahwa manusia adalah hewan yang berakal. Al-insan hayawan natiq, "manusia adalah binatang yang berpikir", begitu kata ahli mantiq atau logika asal Arab. Dan tentunya masih banyak tesis-tesis mengenai persamaan manusia dengan hewan yang berkembang di kalangan cendekiawan awal peradaban bumi.Â
Namun apabila tesis terbit, tentu saja akan timbul antithesis yang berusaha untuk memutarbalikkan teori yang berkembang bahwa sejatinya manusia itu berbeda dengan binatang dalam berbagai hal. Rene Descartes, seorang filsuf kenamaan Perancis pernah membuat teori bahwa, "Apabila aku berpikir(Manusia), berarti aku ada." Konsep berpikir inilah yang menuntun ahli-ahli berpikir rasionalis dalam menentang anggapan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara manusia dengan binatang.
Berbicara mengenai konsep berpikir, tentu saja kita harus dapat memandangnya dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah sudut pandang objektif. Di mana, manusia ditakdirkan untuk berbeda.Â
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, dan cara berpikir mereka pun tentu saja memiliki perbedaan. Banyak faktor yang mempengaruhi akan hal tersebut. Bisa saja terjadi karena latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, atau bahkan latar belakang lingkungan. Semua faktor tersebutlah yang merancang peta pemikiran manusia hingga kini.
Paradigma pemikiran manusia ini terbentuk karena asas model berpikir yang seragam dalam sebuah era pemikiran manusia. Kenapa harus dibedakan dalam segi waktu? Tidak ada jawaban konkret untuk mengatasi pertanyaan destruktif tersebut.
 Namun, menurut saya, pembagian peta pemikiran berdasarkan era lebih dikarenakan setiap era memiliki latar belakang dan perkembangan yang berbeda. Kita tidak bisa membandingkan peta pemikiran filsafat abad 19 yang dikenal lebih kontemplatif, heterogen, dan benar-benar bebas dengan pemikiran filsafat era pra-Rennaisans yang terlalu kaku dan terlalu ditutup-tutupi oleh kekuatan penguasa pada jaman itu.
Salah satu era perkembangan pemikiran manusia yang benar-benar pesat pergerakannya dan mempengaruhi filsafat pada era modern ini adalah filsafat yang berkembang di era Rennaisans di Eropa mulai dari abad ke-12 hingga abad-18 sebelum pecahnya revolusi Industri.Â
Filsafat Rennaisans ini berkembang setelah muncul kesadaran bahwa kekuatan pada jaman itu merupakan opresi yang harus ditiadakan karena mengganggu fitrah manusia dalam berpikir. Banyak sekali filsuf era Rennaisans yang bahkan kepopulerannya mengalahkan filsuf yang muncul di era postmodernism.Â
Hal ini bisa saja terjadi karena filsafat era Rennaisans merupakan fondasi utama para filsuf yang lahir setelahnya dalam mengkaji teori-teori berpikir mengenai berbagai hal. Salah satunya adala Niccolo Machiavelli, seorang filsuf Italia jaman Rennaisans yang pemikiran radikalnya menjadi patokan beberapa tokoh kenamaan peradaban modern seperti Adolf Hitler dan Napoleon Bonaparte. Atau Hegel yang pemikirannya menjadi patokan dasar beberapa filsuf kenamaan selanjutnya seperti Karl Marx dan Jacques Derrida.