Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Si Merah

27 September 2024   08:17 Diperbarui: 27 September 2024   08:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mufid mudik untuk pertama kalinya. Saat itu ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya mengajaknya mudik untuk pertama kalinya. Alasannya sederhana, Mufid itu anak yang rewel, manja dan sering menangis pada hal kecil.

Ayah dan ibunya pun jadi enggan membawa Mufid mudik, apalagi perjalanannya jauh sampai pelosok memasuki hutan. Namun di usianya yang kesepuluh, Mufid sudah lebih besar untuk mengerti. Sudah begitu, asal ada tablet, Mufid akan anteng meski terjadi perang besar sekalipun.

Mufid mudik ke rumah kakek nenek dari ayahnya. Mufid harus menaiki kereta, lalu bus, lalu pergi lagi naik mobil sewaan, dan akhirnya dengan setelah menaiki dan menuruni berbagai lembah dan bukit, akhirnya mereka sampai.

Ada gapura di depan desa, di sekelilingnya perbukitan hijau. Rumah-rumah kayu sudah terlihat dari gapura. “Mufid, ayo jalan, matanya jangan ke tablet terus,” ayahnya memperingatkan. Mufid berdecak bibir, enggan membantah dan tabletnya ia masukkan ke dalam tas.

Mereka disambut hangat oleh keluarga, bahkan Mufid sedari tadi dicubiti oleh kakek neneknya, maklumlah mereka jarang bertemu. Sore itu Mufid tertidur pulas karena lelah perjalanan. Mufid terbangun ketika semua orang pun mulai tidur.

Mufid ingin buang air kecil, ia membangunkan ayahnya, tapi ayahnya tidur seperti kebo. Mufid kesal, akhirnya Mufid mencari kakeknya, saat mufid mau ke kamar kakeknya, Ternyata kakeknya itu belum tidur karena Mufid melihat kakeknya tengah merokok di ruang tamu, sendirian.

“Kebangun ya?” kakeknya tersenyum kecil melihat Mufid mendekat. Suasana temaram karena lampu di tiap rumah di kampung itu hanya lampu kuning yang hanya beberapa watt.

“Mau kencing kek,” Mufid sudah tidak tahan.

“Ya sudah sana, di samping,” kakeknya menunjuk pekarangan samping rumahnya.

“Anterin kek,” Mufid memohon, kakeknya tertawa melihat cucunya ketakutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun