Amira merasa tingkah suaminya mulai aneh. Amira sering melihat suaminya membawa pulang popok bayi, kadang susu formula, kadang kemenyan. Sungguh barang-barang yang tidak saling bersinggungan. Sejak pindah ke rumah yang lebih besar, suaminya pun jadi jarang keluar rumah dan selalu mengunci diri dalam kamar kerjanya.
Pernah Amira tanya, "kenapa ruang kerja selalu dikunci si Mas? Dan kenapa aku ga boleh masuk?" suaminya itu menjawab dengan setengah marah, "bukan urusanmu!" Amira mulai berpikir yang tidak-tidak. Apalagi dia sering merasa ada hal aneh di rumah baru mereka.
Amira sering bermimpi buruk, ia menggendong bayi. Wajah bayi itu tidak jelas siapa, namun dalam tiap mimpi-mimpinya, selalu berakhir dengan bayi itu menjambak rambutnya dengan kencang.
"Untuk apa beli mainan si Mas?" tanya Amira ketika suaminya membawa beberapa mainan untuk balita.
"Ga usah larang-larang apa yang aku beli!" ujar suaminya dengan nada kesal.
Amira semakin tidak mengerti dengan kebiasaan suaminya yang terbangun tengah malam, ke ruang kerjanya dan tak pernah kembali tidur sampai pagi menyingsing. Saat ditanya Amira, "kamu lembur Mas?" suaminya hanya bilang kalau apa yang dia lakukan juga untuk Amira.
Suatu hari, suaminya meminta bantuan padanya. Amira tidak mengerti bantuan seperti apa yang dibutuhkan. Suaminya itu membawa Amira ke ruang kerjanya, ada banyak barang aneh di dalamnya. Ada sesajen, ada kemenyan dan dupa, juda ada ranjang bayi, ada beberapa mainan, popok bayi berserakan dan ASTAGA!!! Uang seratus ribuan berserakan dimana-mana.
"Kamu ngapain si Mas?" Amira bergidik ngeri.
Suaminya itu hanya diam, mengambil sesuatu yang besar di ranjang bayi. Amira menjerit tertahan melihat suaminya yang menggendong bayi. Bayi sekitar enam bulan, kulitnya menghijau kebiruan, matanya membesar seperti disengat lebah.
"Tolong kamu susui dia," ujar suaminya hampir tanpa ekspresi.