Arhan, si sulung yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian ayahnya lima tahun lalu, adalah seorang pemuda yang penuh tanggung jawab. Ia rela menunda mimpinya untuk melanjutkan kuliah demi membantu keluarganya bertahan hidup. Setiap hari, Arhan bangun sebelum fajar, bekerja keras demi mengumpulkan uang. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia memiliki cukup tabungan untuk kembali ke bangku kuliah. Tapi jalan yang harus ditempuhnya tidaklah mudah.
Pagi hingga siang hari, Arhan menghadiri kuliah dengan semangat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah lama dinantikannya. Meski tubuhnya sering lelah, matanya berat, ia tetap berusaha untuk menyerap ilmu yang diajarkan. Saat teman-teman sekelasnya menikmati waktu istirahat atau bersosialisasi, Arhan harus segera bergegas ke rumah untuk membuka les bagi anak-anak di sekitar rumahnya. Ia mengajar dengan sabar, berharap bisa memberi mereka ilmu yang bermanfaat sambil menambah penghasilannya.
Sore harinya, Arhan beralih profesi menjadi tukang ojek online. Jalanan Cirebon yang macet dan panas sudah menjadi teman sehari-harinya. Setiap kali ada orderan masuk, ia langsung bergerak tanpa mengeluh. Penghasilannya dari mengojek inilah yang menjadi tumpuan utama keluarganya. Malam semakin larut, tapi Arhan belum bisa berhenti. Kadang ia baru pulang jam dua, tiga, bahkan pernah ia pulang saat pagi sudah menyingsing, langsung bersiap untuk kuliah lagi tanpa sempat tidur. Hari-hari berat ini menguras tenaganya, tapi Arhan tidak pernah menyerah. Rasa kantuk yang sering menyerangnya di kelas dianggapnya sebagai bagian dari perjuangan. Meski matanya terpejam sesaat, pikirannya tetap berusaha mengikuti apa yang dosen sampaikan.
Suatu malam, pukul dua belas tengah malam, sebuah orderan masuk ke ponsel Arhan. Lokasinya cukup jauh, di pinggiran Kota Cirebon yang berdekatan dengan Kabupaten Cirebon. Meskipun jaraknya jauh dari rumah, Arhan tidak ragu untuk mengambilnya, sebab ongkos yang ditawarkan cukup besar. Ia segera memacu motornya menuju lokasi, melintasi jalanan yang sudah sepi dan gelap.
Pinggiran Cirebon memang benar-benar sunyi di tengah malam. Jalan yang harus dilalui Arhan penuh dengan lubang, melewati sawah-sawah yang membentang luas, pekarangan kosong yang dipenuhi pohon jati, dan kebun-kebun gelap yang tampak menyeramkan di bawah cahaya rembulan yang redup. Arhan sudah akrab dengan jalanan ini. Meski sering kali harus berhati-hati menghindari lubang, ia tetap melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi agar bisa segera sampai ke tujuan.
Namun malam itu, Arhan merasakan sesuatu yang berbeda. Entah karena kelelahan atau pikirannya yang mengembara, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan. Motornya tergelincir dan ia terjatuh di tengah jalan yang sepi, dekat dengan area persawahan yang sunyi. Suara air dari perairan di dekat situ terdengar mengombak pelan, menambah kesan kesepian di malam itu.
"Waduh Mas, sampean ga papa?" Suara seorang bapak paruh baya mengejutkan Arhan. Bapak itu tampak kurus, berjanggut putih, dan mengenakan baju yang tampaknya pemberian dari toko pupuk padi. Arhan menduga bapak itu mungkin sedang menjaga bebek di sekitar situ, mengingat suara-suara bebek yang terdengar dari kejauhan. Bapak itu membantu Arhan dan motornya untuk berdiri.
"Enggak papa Pak, suwun Pak sudah dibantu," jawab Arhan dengan sopan, meskipun kepalanya masih sedikit pusing akibat jatuh tadi.
"Hati-hati mas kalau lewat sini, jangan lenger (lengah). Ya wajar mas, di sini mah emang banyak lubang, sudah ciri khas daerah sini," katanya sambil tertawa kencang, membuat Arhan tersenyum meski rasa lelah masih menggerogoti tubuhnya. "Ya sudah Mas, saya mau balik ke kandang lagi."
Arhan mengucapkan terima kasih sekali lagi, memandang bapak itu berjalan menuju kandang bebek yang tidak jauh dari situ. Suara bebek saling bersahutan, menyambut kedatangan sang majikan. Setelah bapak itu pergi, Arhan menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyerangnya. Kenapa tiba-tiba jadi kehilangan keseimbangan?