"Kau menghendaki kebebasan Nak?" Wajah Mohan yang memar akibat semalaman dipukuli hanya diam, menatap tajam pada seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan kancing baju yang berteriak meminta tolong karena tubuh gendutnya baju itu jadi terlihat kekecilan. Mata Mohan yang semalam dihajar habis-habisan terasa sakit tiap menatap, namun tak ingin ia lewatkan satu detik pun untuk menatap pria bengis dengan peci itu. Tangannya diikat, sudah berkali-kali meronta namun tali pada kursi itu tidak juga longgar. "Kau ingin kebebasan berpendapat? Kau ingin kebebasan berbicara? Tidak ada Nak, tidak ada." Senyum menjijikkan, ingin sekali Mohan memukul wajah yang tak asing bagi penduduk setempat karena wajahnya menghalangi pepohonan di pinggir jalan. Wajahnya ada di tiap desa, tiap kecamatan di kabupaten ini.
      Pria paruh baya yang saat semester satu Mohan kenal sebagai ketua yayasan itu mengelus kepalanya. "Sudahlah Nak, kebebasan berbicara tidak pernah ada di negeri dongeng ini. Bapak tahu, Bapak juga pernah ada di posisi kamu dulu. Tidak ada gunanya Nak, tidak ada gunanya. Lebih baik kau fokus pada kuliah mu, masih semester empat kan?" Mohan meringis kesakitan karena rambutnya tiba-tiba dijambak oleh pria paruh baya yang buncit itu. Di gudang itu hanya ada Mohan dan pria paruh baya yang buncit, juga dua satpam yang berdiri di belakangnya. Pandangannya temaram karena lampu yang tak terang. Entah sudah berapa lama Mohan di sini, terasa sangat lama.
      Mohan ingat bagaimana semua ini berawal. Saat itu pencalonan Bupati di kabupaten tempat ia tinggal. Mohan juga berkuliah dekat tempat tinggalnya, di sebuah kampus swasta yang belum lama berdiri. Ayahnya pernah bilang, kuliah itu di mana saja dan sama saja--- yang membedakan adalah kualitas diri masing-masing manusia. Mohan percaya akan hal itu. Maka ia pun berkuliah dengan sungguh-sungguh, agar suatu hari bisa membagikan ilmu pengetahuannya ke banyak orang dan dapat menginspirasi banyak orang. Mohan berharap, dengan ilmu yang dia dapat selama ia hidup bisa menolong banyak orang.
      Mohan sangat mengagumi kampus dan orang-orang di dalamnya, gedungnya yang megah dan indah, dosen-dosennya yang sangat intelek, mahasiswanya yang kritis-kritis, dan kisah-kisah kepemimpinan hebat yang datang dari banyak pemimpin di kampusnya. Ketua BEM, Kaprodi, rektor, ketua Hima, dan banyak lagi. Namun, tiap waktu kekagumannya pada kampus tempat ia menimba ilmu perlahan memudar karena fakta-fakta gelap yang baru ia temui akhir-akhir ini. Menjelang pencalonan bupati, ternyata ketua yayasan yang menaungi kampusnya mencalonkan diri menjadi bupati.
      Awalnya Mohan tidak masalah, kalau bisa membawa perubahan pada daerahnya kenapa tidak? Namun, hari demi hari Mohan merasa dirinya sebagai mahasiswa dimanfaatkan sebagai roda kampanye dari ketua yayasan yang menaungi kampusnya. Hal itu pertama kali Mohan sadari saat kampanye berkedok seminar di kampusnya. Rektor di kampusnya mendesak semua mahasiswa agar mengikuti seminar tersebut. Mohan akhirnya mau tak mau ikut juga, dan di sana lah Mohan menyadari kalau kampusnya sudah menjadi ladang kampanye. Mohan tidak bisa tinggal diam, bagaimana bisa tempat suci bagi pendidikan terjamah akan agenda politik? Tidak bisa begitu, ini sudah keterlaluan.
      Mohan berunding dengan rekan-rekannya, menyampaikan pemikirannya kalau ini tidak benar. Mohan dan lima rekannya membuat poster dan ditempel di mading-mading kampus. Mohan memahami ucapan rekan-rekannya, mereka tidak bisa bergerak terang-terangan karena masih dalam jumlah yang sedikit, mereka lebih dulu harus mengumpulkan banyak mahasiswa sehingga ramai-ramai menolak agenda politik apapun di kampus ini. Poster yang ia dan teman-temannya tempel itu menuai banyak tanggapan, ada yang bilang setuju, ada yang tidak peduli, ada yang merobek dan membuangnya. Tidak putus asa, Mohan dan rekan-rekannya menempel poster itu di banyak tempat, tiap poster dirobek, akan muncul poster lain. Begitu terus sampai tak terasa kabar itu tiba.
      Menjelang UAS semester tiga, kampus menyebarkan mengenai canvasing politik yang pada intinya memberikan dukungan pada ketua yayasan yang menaungi kampusnya, canvasing itu harus dilakukan oleh setiap mahasiswa di kampusnya, tidak boleh tidak. Kaprodi dan rektor menyebutkan kalau kegiatan canvasing ini adalah bentuk cinta pada Bapak Ketua Yayasan yang telah memberikan pendidikan yang layak bagi semua mahasiswa di sini. Persetan!!! Mohan benar-benar kesal, apalagi ia mendengar kalau-kalau nilai UAS menjadi taruhan bagi mereka yang tidak melakukan canvasing. Omong kosong!!! Mohan mengatur strategi dengan rekan-rekannya, namun rekan-rekannya itu mundur. Bilang mereka tidak bisa lebih jauh lagi, ini sudah cukup.
      "Kita tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini berlaku, kalau kita hanya diam berarti kita sama saja berbuat tidak adil." Mohan membanting poster baru yang ia buat. Di kamar kost miliknya itu, rekan-rekannya menatap Mohan dengan harapan yang surut. Mereka menyerah, tidak akan bergerak lebih jauh.
      "Tidak adil bagimu Han, lihat mereka! Lihat semua mahasiswa itu! Apa mereka berteriak melawan karena merasa ada ketidakadilan di kampus ini? Apa mereka menganggap ini tidak adil? Tidak Han, mereka hanya diam, mereka tidak peduli karena mereka sadar ini kampus swasta--- kita bisa dikeluarkan karena bertindak yang macam-macam." Mohan menatap rekannya itu tajam.
      "Para aktivis kampus kita yang saat BBM naik, saat UU yang melemahkan hukum direncanakan, saat pengurangan masa tahanan koruptor--- mereka semua turun ke jalan. Kau tahu kenapa mereka sekarang diam? Karena semua kasus itu bersumber dari orang atau partai yang beroposisi dengan partai ketua yayasan kita, mereka semua itu roda partai Han. Ya, mereka semua, yang melabel diri mereka sebagai aktivis kampus itu. Kita hanya berenam Han, kita tidak bisa menegakkan apapun di sini." Rekannya yang lain menepuk pundak Mohan beberapa kali lalu meninggalkan dirinya di kamar kost--- rekan-rekannya yang lain pun keluar satu per satu. Semua sudah selesai.
      "Sudah Han, kita belajar buat UAS saja." Kata terakhir dari rekan-rekannya.
      Tidak, Mohan tidak bisa diam--- tidak bisa diam melihat ketidakadilan, tidak bisa diam melihat penindasan. Mohan bangkit, keluar dari kamar kostnya, ini sesuatu yang mungkin akan membahayakan dirinya, mungkin bisa saja dirinya dikeluarkan dari kampus ini. Mohan membuat tulisan besar-besar pada kertas yang lalu ia bentangkan dan ia berteriak di depan kampus. Menolak semua ketidakadilan ini, ia bacakan puisi-puisi yang membangkitkan semangat, ia teriakan kata-kata tajam yang langsung menyerang kampus yang tidak pro mahasiswa. Dia terus berteriak sampai suaranya serak namun tidak ada yang memperdulikannya, tidak ada yang berteriak bersamanya, saat itu Mohan sadar--- semua mahasiswa, bahkan mungkin dosen dan semua orang yang ada di kampus ini... tunduk akan ketidakadilan yang membelenggu kampus mereka. Dosen dan staf yang lain tunduk pada gaji yang menghidupi mereka, sementara itu para mahasiswa tunduk pada ijazah yang akan mereka dapatkan asal tidak berbuat macam-macam. Satu-satunya yang datang padanya adalah satpam dengan tubuh kekar, pakaian serba hitam--- Mohan tidak mengenali satpam itu, satpam kampusnya kan kalau tidak kurus kering ya gendut.
      Mohan diringkus sore itu, dia dibawa ke pojok kampus yang sepi. Satpam itu memanggil temannya, dan langsung memukul perut Mohan hingga Mohan perlahan kehilangan kesadarannya. Ini bukan lagi mules, tapi perut terasa digiling. Begitu sadar, Mohan sudah diikat di kursi dengan tali di gudang. Dia mencoba meronta, tidak ada perubahan, tali itu membelenggunya begitu kuat. Datang dua satpam yang memukulnya tadi. Perutnya masih terasa melilit, seakan sembelit. Wajah Mohan tiba-tiba saja dipukul, tepat di matanya, lalu bibirnya sampai robek berdarah. "Sudah-sudah." Datang seorang dari kegelapan gudang, orang yang dia kenal. Si Ketua Yayasan.
      Mohan menatap tajam, terbelalak. "Jadi, untuk apa kamu melakukan itu? Sendirian pula." Pria gendut paruh baya itu memperlihatkan video yang berisi dirinya tengah berteriak menuntut keadilan di depan kampus. "Kasihan sekali kamu Nak, kamu hanya berjuang sendirian. Barangkali kau sudah paham itu adalah kesia-siaan."
      "Apa kau berniat mematikan kebebasan berbicara di kampus mu sendiri? Bukan kamu yang bilang kalau kebebasan berbicara adalah hak semua orang? Kau ingin mematikan apa yang pernah kau sampaikan? Atau saat itu kau hanya berbual agar terlihat penuh wibawa?" Mohan menatap tajam, saat ini hatinya tak ada rasa takut--- untuk apa takut pada orang-orang sepertinya, orang-orang munafik!
      Pria paruh baya dengan perut buncit itu tergelak, bahunya naik turun karena tawanya. "Anak ini sungguh pandai berbicara. Kau menurutlah padaku, aku bisa jadikan kau orator yang baik di jalan, kau bisa turun ke jalan dan membawa masa yang aku siapkan. Bagaimana, kau mau Nak? Oh begini, kalau kau mau--- kau bisa menjadi dosen di kampus kita. Bagaimana? Kau bisa membina mahasiswa di sana, agar semakin menurut padaku. Bagaimana? Masalah gaji tidak usah kau khawatirkan, tanyakan saja pada dosen-dosen mu itu--- gaji yang aku beri cukup menghidupi mereka." Mohan merasa jijik, ludah langsung ia lancarkan dan mengenai mata lawan bicaranya.
      "Kau pikir aku sudi?!" Dan langsung saja Mohan dihajar dua satpam dengan badan kekar itu. Mohan dipukul, ditendang, dipukul lagi, dihantam dengan siku, ditendang lagi--- terus menerus hingga darah keluar dari berbagai sisi di tubuhnya. Ada yang pendarahan di dalam dan ada yang mengucur. Mohan kehilangan kesadaran.
      "Jadi, kau masih mau kebebasan berbicara?" Tanya pria paruh baya yang gendut itu dengan wajah yang memuakkan.
      "Matikan aku Babi Hutan! Matikan aku! Matikan aku dan kau akan menyaksikan aku dengan tubuh-tubuh yang lain. Tak perlu menunggu kapan itu datang, tak perlu khawatir tak akan datang, pasti mereka dengan jiwaku di tubuh mereka akan datang di waktu yang tepat. Tunggu saja, Babi Hutan!" Mohan tersenyum sinis, lalu ia meludah dan tepat mengenai mata pria gendut paruh baya. "Ketakutan?" Sekali lagi Mohan tersenyum sinis.
      "Anak setan!" Pria gendut paruh baya menggeram, memukul Mohan dengan sekuat tenaga yang ia punya, Mohan merasakan gundukan batu cincin mengenai hidungnya telak. "Cepat selesaikan!"
      Dalam tiap pukulan, tendangan, makian dan cacian yang Mohan terima, Mohan berdoa pada alam, pada Tuhan--- mengharapkan keadilan masih berdiri tegak di tiap inci di negerinya, Mohan berharap dirinya lahir di banyak tubuh bayi yang sedang dikandung, Mohan berharap tiap mili detik rasa sakit yang menyerang tubuhnya akan dibayar tuntas dengan harapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H