Program studi atau jurusan Studi Agama Agama (dulunya bernama Perbandingan Agama) memang bukan pilihan utama para pelajar yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun, tidak sedikit alumninya memberikan pengaruh cukup serius dalam diskusi seputar kehidupan umat beragama di Indonesia hingga internasional. Maklum saja, pembahasan terkait teologi dan fenomena sosial masing-masing agama dunia selalu menjadi santapan serius mahasiswa jurusan tersebut. Maka tidak heran, jika nama Studi Agama Agama tidak begitu populer bagi mereka yang orientasinya mencari jurusan dengan output kerja yang lebih jelas.
Akan tetapi fokus tulisan ini bukan tentang ketertarikan terhadap jurusan Studi Agama Agama, melainkan pelajaran serta diskusi yang berkembang di kalangan mahasiswanya di jenjang Strata 1 (S1).Terkadang, mereka lebih sibuk berputar pada pembahasan ritus agama dan fenomena sosial atau politik yang berkaitan dengan agama dibandingkan dengan memahami titik paling fundamental dalam ajaran agama.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan pembahasan teologi dan sosial hubungan umat beragama. Namun yang perlu diketahui, bahwa masing-masing agama mempunyai prinsip tradisional yang tertuang dalam kitab suci untuk memantapkan diri dalam mengimplementasikan ajaran agama.
Prinsip tradisional itu dapat ditelusuri secara mendalam melalui filsafat perenial. Selanjutnya akan diketahui bahwa filsafat perenial akan membantu menjawab persoalan manusia modern yang mulai mengalami krisis spiritual atau sudah tidak lagi percaya dengan agama.
Fenomena "Terlupakannya" Agama
Diskusi seputar agama dan kehidupan spiritual di era modern saat ini lebih umum dikenal sebatas ritus atau ibadah yang menjadi kewajiban pemeluknya. Jarang atau bahkan tidak ada yang mengelaborasi secara lebih luas dan kontekstual tentang ajaran agama yang termaktub dalam kitab suci.
Bahkan diperkuat dengan pengajian rutin di tengah masyarakat yang lebih sering mengangkat tema tentang akidah dan ritual keagamaan. Memang tidak ada yang keliru dari tema pengajian semacam itu, tapi di satu sisi akan menjadi alasan paling kuat terkait argumentasi orang-orang yang memilih meletakkan agama di sudut terluar dari kepentingan hidup duniawi mereka.
Ajaran agama dianggap kontraproduktif atas kemajuan teknologi dan kebutuhan hidup manusia, karena terlalu sibuk membahas, mana yang wajib dan sunnah, mana yang disebut orang beriman dan mana yang kafir, kelompok A atau kelompok B atau kelompok C dan seterusnya yang benar-benar menjalankan akidah sesuai tuntunan Nabi, atau adakah kelompok yang dianggap sesat dan sebagainya.
Perputaran yang tiada henti pada aspek luaran juga membuat anak muda generasi millenial dan gen Z semakin yakin untuk tidak terlalu menaruh kepedulian serius terhadap ajaran agama. Sementara yang mereka butuhkan adalah penawar dari rasa atas kekosongan batin dan krisis mental.
Padahal jika para pemuka agama dan akademisi di bidang agama mau serius menyelami prinsip tradisional paling fundamental dalam agama, maka akan ditemukan jawaban mendasar tentang fungsi agama hadir bagi umat manusia. Penyelaman terdalam pada inti ajaran agama mengantarkan manusia menemui paradigma kearifan perenial (perenial wisdom).