Habermas mulai menekuni bidang filsafat di Universitas Got tingen dam Bonn, kemudian tahun 1956 bergabung ke Institut Fur Socialforschung. Pada saat itu ia berumur 27 tahun. Selain fokus di dunia akademik, Habermas menerima tawaran untuk menjadi asisten Adorno antara tahun 1958 hingga 1959. Walaupun sibuk mengembangkan karya pikiran generasi Mazhab Frankfurt, ia masih mempunyai waktu untuk menyelesaikan studinya dan meraih gelar Ph.D.
Setelah menyelesaikan tugas mengajarnya di Institut Fur Socialforschung, Habermas menggantikan posisi Horkheimer untuk mengajarkan sosiologi dan filsafat di Universitas Frankfurt. Dukungannya terhadap teori kritis yang dikembangkan oleh generasi pertama menemukan titik terendah yang cukup mengkhawatirkan. Tepatnya pada tahun 1968 sampai 1969, saat kalangan mahasiswa sosialis Jerman melakukan demonstrasi besar-besaran.
Semakin hari, gerakan mahasiswa semakin tidak terkontrol dan nilai kritis di kalangan mereka seketika tergantikan oleh sikap anarkis. Bagi Habermas, tindakan para mahasiswa tersebut sudah melewati batas dan masuk dalam kategori “revolusi palsu”. Ia akhirnya pergi ke Max-Plank Institut zut Erfoschung der Lebensbendingurgen der Wissenschaftinchtechischen Welt.
Pengembaraan intelektualitasnya pun berlanjut dan berhasil menghadirkan nuansa baru teori kritis. Menurut Franz Magnis-Suseno, Habermas dinilai layak menjadi pewaris dan pembaharu teori kritis dan sekaligus menjadi tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt.
Namun di satu sisi, Habermas cukup berani merivisi buah pikiran generasi pertama yang menurutnya, semangat pembebasan (emansipasi) fisafat pencerahan telah diganti dengan instruksi kontrol atas proses-proses yang diobyektifkan (purposive rational action).
Karya-karya Jurgen Habermas yang populer antara lain, The Structural Transformation of the Public Sphere, The Theory of Communicative Action, Between Facts and Norms, Post-Metaphysical Thinking, Between Naturalism and Religion, dan Also a History of Philosophy.
Teori Tindakan Rasional Komunikatif
Teori kritis pada dasarnya menggunakan metodologi refleksi-diri melalui pembicaraan yang bersifat emansipatoris. Melalui teori tersebut, digunakan pula tindakan menuju revolusioner-emansipatoris. Penerapannya membutuhkan studi analisis yang terukur dan tersistematis agar mencapai tujuan akhirnya yaitu emansipasi bagi setiap kalangan masyarakat.
Akan tetapi, teori kritis yang digagas oleh para tokoh generasi pertama akhirnya diterima oleh generasi muda khususnya mahasiswa sebagai cara pandang yang absolut dan lebih dekat pada doktrin. Bukan mengarahkan manusia pada tujuan emansipatoris, justru lebih menekankan rasio instrumental. Khususnya bagi kalangan pekerja, rasio instrumental lebih sering diterapkan sebagai alat pengendali untuk menerapkan kepentingan-kepentingan teknis (empiris-analitik).
Menurut Jurgen Habermas, proses rasionalisasi dalam kehidupan masyarakat modern dapat menimbulkan kondisi masyarakat yang saling menindas karena menggunakan logika pasar dan birokrasi.[1] Manusia tidak lagi dianggap sebagai subjek, tetapi obyek yang dapat dimanipulasi secara teknis. Contoh adanya aturan karyawan diberikan target mendapatkan klien berapa, target penghasilan berapa. Kehidupan manusia jadi birokratis.
Fenomena tersebut dapat diatasi dengan communicative rational action (tindakan rasional komunikatif). Habermas menginisiasi teori tindakan komunikatif atau paradigma komunikasi dalam teori kritis sebagai perluasan komunikasi yang bebas dari segala bentuk dominasi. Tindakan rasional komunikatif yang dibimbing oleh concencus norms (kesepakatan bersama) untuk mencapai pemahaman subyektif masing-masing individu atau intersubjektivitas.