Mohon tunggu...
Andi Novita Mama Anugrah
Andi Novita Mama Anugrah Mohon Tunggu... Penulis - Undergraduate Petroleum Engineering Student at UPN "Veteran" Yogyakarta

Researcher II Energy and Renewables Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

CAPEX or OPEX: Skema Bisnis Solar PV di Indonesia

8 September 2021   07:00 Diperbarui: 10 September 2021   11:49 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Instalasi solar PV mendominasi industri EBT.  Secara global, solar PV cenderung naik dua kali lipat dalam 7 tahun terakhir. Tahun 2018, kapasitas PV terpasang mencapai 480 GW (IRENA 2019). Berdasarkan analisis REmap IRENA, instalasi solar PV bisa tumbuh 6 kali lipat selama 10 tahun dengan capaian kumulatif 2.840 GW di 2030. 

Market PV global didominasi oleh Asia (Simamora and Tumiwa 2019). Kapasitas solar PV terpasang sebesar 280 GW, terbesar di China dengan 175 GW. Uni Eropa terbesar kedua, disusul Jerman dengan 45 GW dan North Amerika 55 GW.

Peningkatan Kapasitas Solar PV yang Terus Meningkat secara Global|fomatheus.wordpress.com
Peningkatan Kapasitas Solar PV yang Terus Meningkat secara Global|fomatheus.wordpress.com
Dalam skala Asia, perkembangan solar PV di Indonesia masih lamban. Padahal potensi Indonesia lebih besar. Hal ini membuat perkembangannya stagnan. Namun, beberapa tahun stagnan, akhirnya ada secercah harapan untuk bangkit. Ketersediaan sumber daya teknologi yang semakin mudah, mendorong solar PV tren secara global. Produk panel surya juga telah ada di beberapa negara. 

Produk panel surya ada 2 jenis yakni monocristaline silicon dan thin film. Keduanya memiliki ketahanan dan efektivitas yang berbeda. Dari cell technology, production cost thin film  lebih rendah dari crystalline silicon. Tapi, saat melihat efisiensi crystalline lebih efisien (13-19%) dibanding thin film (4-12%) (Andor and Sijabat 2021). 

Selain itu, secara produksi, cost investasi silicon lebih mahal sekitar 1,7 US dollar/MW (Andor and Sijabat 2021). Thin film lebih murah sekitar 60% dari crystalline. Keuntungan crystalline yaitu investasi bersifat flexible. Dapat dilakukan secara bertahap. Thin film investasinya harus keseluruhan hingga tercipta modul PV. 

Sejauh ini, pasar terbesar modul PV yakni crystalline silicon sebesar 90% dan thin film 10%. Roadmap market thin film sendiri diproyeksi masih dibawah 15% di tahun 2025. Sementara crystalline silicon terus berkembang karena teknologi ini menarik dikembangkan. 

Perbandingan Market dari Crystaline Silicon vs Thin Film
Perbandingan Market dari Crystaline Silicon vs Thin Film
Beberapa negara telah mengembangkan material panel surya. Seperti halnya Vietnam, Singapura, USA, dan China. Namun, predikat Indonesia masih sebagai konsumen bukan produsen. Material solar PV seperti modul kebanyakan impor dari China dan Vietnam. 

Lalu, timbul pertanyaan, kenapa Indonesia tidak memproduksi sendiri ? 

Produksi panel surya tidaklah mudah. Membutuhkan teknologi dan sumber daya ahli. Material utama panel surya yaitu pasir kuarsa (SiO2). Indonesia memang memiliki bahan material. Namun, belum mampu mengolahnya karena terhambat teknologi dan biaya. Sementara, China dan Vietnam telah berhasil dalam pembuatan modul PV. 

China juga mengembangkan  skema bisnis dengan siklus terintegrasi. Bisnis model China siklus close loop secara ekonomi. Artinya sudah menghasilkan PV, kemudian PV menghasilkan listrik dibawah 3 sen. Harga tersebut sudah feasible di pasaran. Jika Indonesia ingin masuk ke industri material PV, perlu investasi yang besar. Saat ini kondisinya masih belum feasible. 

Tantangan terbesar solar PV yakni investasi  yang besar. Kebutuhan investasi solar PV dipengaruhi teknologi, lokasi, dan potensi surya. Berdasarkan Badan Kebijakan Fiskal APBN, cost breakdown structure (CBS) solar PV menunjukkan biaya investasi terbesar pada komponen EPC, mencapai 71,2% dari CAPEX, pre-investment 15,5%, pekerja jasa 13,3%. Komponen modul solar menyumbang proporsi terbesar yakni 33,9% (GIZ, 2018). 

Itulah yang menyebabkan biaya solar PV mahal.  Bagaimana tidak, pemasangannya berkisar 12-25 juta. Dikalangan masyarakat harga tersebut sangat mahal. Sehingga sebagian besar masyarakat masih berlangganan dengan PLN. 

Namun, tidak perlu khawatir. Untuk mendorong perkembangan solar PV, terdapat pilihan skema bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan dukungan kerangka regulasi yang tepat, harga PLTS dapat turun dari 6-10 ct/kWh menjadi 3.5-8 ct/kWh. Biaya ini sangat kompetitif dengan biaya pembangkitan listrik oleh PLTU (IESR 2019). 

Terdapat 2 skema bisnis yang dapat diterapkan yakni CAPEX dan OPEX. Skema bisnis ini sebenarnya telah diterapkan oleh ESDM. Solar PV sangat terbuka dan flexible dalam pemasangannya. Tujuan yaitu memberikan kenyamanan bagi masyarakat yang menggunakan panel surya. Tentunya, dapat disesuaikan dengan budget yang dimiliki. Adanya skema ini, membuat masyarakat tidak khawatir terhadap harga yang sebelumnya dinyatakan mahal. 

Dalam pemilihan skema, disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Ketika akan menggunakan skema CAPEX artinya semua biaya oleh perusahaan. Biaya pemasangan, perawatan diakukan oleh perusahaan. Umur pakai 25 tahun. 

Sedangkan, OPEX yaitu skema yang tidak perlu investasi. Cukup administrasi dan melakukan pembayaran perbulan. Penghematan dari PLTS nantinya akan digunakan untuk biaya perbulan. Untuk biaya awalnya hanya sekitar 150 ribu. 

Adanya pilihan model bisnis yang terintegrasi diharapkan dapat mendorong pengembangan Soalr PV di Indonesia. Dengan demikian, target bauran energi pemerintah yakni 23% di tahun 2025 dapat tercapai. Harga yang semula menjadi masalah kini telah ditemukan solusinya dengan skema CAPEX dan OPEX.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun