Instalasi solar PV mendominasi industri EBT. Â Secara global, solar PV cenderung naik dua kali lipat dalam 7 tahun terakhir. Tahun 2018, kapasitas PV terpasang mencapai 480 GW (IRENA 2019). Berdasarkan analisis REmap IRENA, instalasi solar PV bisa tumbuh 6 kali lipat selama 10 tahun dengan capaian kumulatif 2.840 GW di 2030.Â
Market PV global didominasi oleh Asia (Simamora and Tumiwa 2019). Kapasitas solar PV terpasang sebesar 280 GW, terbesar di China dengan 175 GW. Uni Eropa terbesar kedua, disusul Jerman dengan 45 GW dan North Amerika 55 GW.
Dalam skala Asia, perkembangan solar PV di Indonesia masih lamban. Padahal potensi Indonesia lebih besar. Hal ini membuat perkembangannya stagnan. Namun, beberapa tahun stagnan, akhirnya ada secercah harapan untuk bangkit. Ketersediaan sumber daya teknologi yang semakin mudah, mendorong solar PV tren secara global. Produk panel surya juga telah ada di beberapa negara.Â
Produk panel surya ada 2 jenis yakni monocristaline silicon dan thin film. Keduanya memiliki ketahanan dan efektivitas yang berbeda. Dari cell technology, production cost thin film lebih rendah dari crystalline silicon. Tapi, saat melihat efisiensi crystalline lebih efisien (13-19%) dibanding thin film (4-12%) (Andor and Sijabat 2021).Â
Selain itu, secara produksi, cost investasi silicon lebih mahal sekitar 1,7 US dollar/MW (Andor and Sijabat 2021). Thin film lebih murah sekitar 60% dari crystalline. Keuntungan crystalline yaitu investasi bersifat flexible. Dapat dilakukan secara bertahap. Thin film investasinya harus keseluruhan hingga tercipta modul PV.Â
Sejauh ini, pasar terbesar modul PV yakni crystalline silicon sebesar 90% dan thin film 10%. Roadmap market thin film sendiri diproyeksi masih dibawah 15% di tahun 2025. Sementara crystalline silicon terus berkembang karena teknologi ini menarik dikembangkan.Â
Beberapa negara telah mengembangkan material panel surya. Seperti halnya Vietnam, Singapura, USA, dan China. Namun, predikat Indonesia masih sebagai konsumen bukan produsen. Material solar PV seperti modul kebanyakan impor dari China dan Vietnam.Â
Lalu, timbul pertanyaan, kenapa Indonesia tidak memproduksi sendiri ?Â
Produksi panel surya tidaklah mudah. Membutuhkan teknologi dan sumber daya ahli. Material utama panel surya yaitu pasir kuarsa (SiO2). Indonesia memang memiliki bahan material. Namun, belum mampu mengolahnya karena terhambat teknologi dan biaya. Sementara, China dan Vietnam telah berhasil dalam pembuatan modul PV.Â