Mohon tunggu...
Andino Maranjadinano
Andino Maranjadinano Mohon Tunggu... -

Dino adalah sebuah karakter fiksi dalam dunia maya berdasarkan kehidupan nyata sang penulis (dalam bahasa mudah : nama samaran). Seoarang pelaku musik lokal dan mahasiswa di sebuah PTS kota besar. Tidak seperti anak muda lain nya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pola Pikir Mainstream Indonesia, Sebuah Penghancur Generasi Selanjutnya

6 Agustus 2011   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu pagi yang dingin. Beberapa anak muda berkumpul di suatu ruangan besar mengenakan kemeja putih yang dimasukan rapi kedalam celana hitam,dasi hitam, serta perasaan yang awkward. Sebagian dari mereka mengharapkan masa depan yang cerah, sebagian lain nya hanya mengikuti arus, sebagian lainya hanya pengengayeng. Lalu adakah yang menantang arus? Mungkin haya ada 3 orang (dari +-4500 orang) yang berpikiran lain, ingin keluar. Iya, hari itu adalah kuliah perdana saya.Perbedaan ideologi antara kami dengan para petinggi merupakan alasan utama. Beberapa bongkah statement yang dikeluarkan oleh pembicara sangat bertentangan. Beliau berbicara  yang menyangkut jabatan, gelar, serta kekuasaan tinggi di negara. “Alumnus kita, pak &!^@%# mobilnya udah bukan plat B, tapi pake RI”, lalu diikuti tanggapan riuh hampir di seluruh ruangan. Kami bertiga? Hanya memandangi mereka, tertawa miris. Lalu dimana letak independensi personal? Apa semua harus bekerja dibawah birokrasi yang (menurut saya) busuk, dimana korupsi adalah teman dan kejujuran adalah “kacang”? Apa yang terjadi jika beberapa serpihan statement itu merasuk pada pikiran teman – teman sebaya saya yang belum tau tujuan hidupnya? Apakah baik? Sepertinya menjadi racun yang kurang baik, kecuali mereka tahu apa yang mereka hadapi (dan bisa mengatasi masalah itu). Jika memang mereka sependapat, berarti teman – teman sebaya saya ini belum semuanya tahu betapa hancurnya negeri ini. Liat Pajak? Siapa yang menggunakan uang pajak? Ga hanya Gayus, tapi saya rasa SELURUH pekerja disana kena dampaknya, meskipun indirect. Berapa besar cukai yang harus dibayar? Saya liat ongkos cukai jauh lebih mahal dari ongkos shipping dari luar negeri. Liat DPR? Berapa banyak anggota DPR yang ngentot sama asisten setiap harinya? Beberapa sumber bilang kalau di DPR ditemuin kondom di tempat sampah. Apakah kondom adalah sebuah penampung “tinta” untuk merumuskan Undang – Undang baru? Iya,maaf itu menjijikan tapi buat apa kondom di DPR kalo ga buat ngentot? Dan masih banyak contoh – contoh instansi negeri lainnya. Dengan hal seperti itu, apa masih bisa bekerja secara bersih ? Maka jadilah Minoritas yang sulit mendapatkan posisi diatas. Misal saya kerja di DPR “Bro, itu proyeknya PT. Kalimantan *&!^@# ga lu apa – apain bray?” , “Wah engga bro, itu bisa ngerusak hutan.”,”Wah oke deh goodluck ya, gue kayanya ga bisa kerja sama tipe kaya lu,hehe”. Atau mungkin seperti “Bro, lu ga ngentot? Asisten lu lumayan tuh”. Saya jawab apa coba kalo yang satu ini? #eh . Intinya mereka sangat rakus. Bisa – bisa, gangguan mental efeknya. Mereka yang jujur akan meledak secara implosive. Ga usah pemerintah deh, dalam bidang wiraswasta juga busuk. Contoh Stranough Guitar (Bandung) yang menjual sebagian kepemilikanya (entah berapa persen) ke orang US. Padahal Stranough punya potensi ke depan yang bagus kalau si pemilik punya idealisme, dikit aja. Kecuali Radix Guitars yang sampai sekarang masih bertahan.  Atau contoh yang lebih besar, Indosat. Kecuali Telkomsel. Eits, gue ga ngiklan. Kadang kedua provider telpon itu juga sama – sama parah. Tuh kan,busuk juga. Di Indonesia masih punya pola pikir “asal dapet uang banyak”. Kalau semuanya dijual, brand dalam negeri mana yang harus dibanggakan? Kembali ke gedung itu. Setelah selesai, waktunya sholat jumat. Masih ada 1 jam sebelum adzan, dan kita ber -3 membicarakan masalah tadi. “Dude, wtf was that all about?”, “Kita salah masuk nih”. Dan dari apa yang pembicara tadi bicarakan tampaknya ingin sekali dirinya diangkat ke kekuasaan yang lebih tinggi, Komisi Yud***al. BUKAN karena fungsi dan tujuanya, namun lebih kekuasaan yang digunakan pribadi. Tentunya pamer nama. Atau memang life style orang yang bekerja di bawah birokrasi? Bukan suudzon atau apa, tapi itu feeling saya. Huge Power Comes Huge Responsibility, iya kan? Quis custodiet ipsos custodes? (Who Watches The Watchmen?) Ada benernya juga Om Bob Sadino. Perguruan Tinggi sudah telalu banyak sampah dan racun. Ini yang membuat tidak adanya kemauan untuk maju sendirian. Sendirian. There’s no one in front of you. Only you, your thought, and the road. Ini hanya hasil pemikiran saya dari yang saya tahu, bro. Maaf kalau kurang berkenan,saya memang masih labil . Kirimkan pendapat anda di comment box bawah ini,semoga bisa jadi introspeksi untuk saya dan kita semua. n.b. : Saya pake bahasa yang kasar cause DPR deserve it. Dan maaf kalau tulisan ini salah kamar.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun