Polarisasi sosial merupakan salah satu isu krusial yang kian mengemuka menjelang Pemilu 2024. Kondisi ini semakin diperparah dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai alat kampanye politik.Â
Di satu sisi, media sosial memberikan platform yang mudah diakses bagi para kandidat dan pendukungnya untuk menyampaikan visi dan misi mereka kepada publik. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi lahan subur bagi penyebaran misinformasi dan disinformasi yang dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat.
Salah satu dampak nyata dari polarisasi sosial adalah terpecahnya masyarakat berdasarkan identitas etnis, agama, atau golongan. Pengelompokan semacam ini bisa terjadi akibat narasi-narasi yang sengaja dibentuk untuk memperkuat afiliasi politik dengan cara yang kurang etis.Â
Isu-isu sensitif seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) kerap kali dimanfaatkan untuk meraih dukungan politik. Sayangnya, strategi ini sering kali dilakukan dengan cara-cara yang tidak sehat, yang hanya akan memperdalam jurang perbedaan di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Di era digital ini, penyebaran konten provokatif yang memicu perpecahan semakin sulit dikendalikan. Media sosial memungkinkan individu atau kelompok tertentu untuk mempublikasikan informasiyang belum tentu benar, dengan tujuan mempengaruhi cara pandang masyarakat.Â
Lebih parah lagi, algoritma platform media sosial cenderung memperkuat polarisasi dengan memprioritaskan konten yang sesuai dengan pandangan politik pengguna, sehingga mempersempit ruang diskusi yang sehat dan objektif.Â
Dengan demikian, polarisasi yang terjadi bukan hanya soal perbedaan pandangan, tetapi sudah menjadi pembelahan masyarakat ke dalam kelompok yang saling bertentangan.
Isu polarisasi ini tentu menjadi tantangan bagi stabilitas demokrasi. Jika tidak diantisipasi, perpecahan sosial yang terjadi dapat mempengaruhi kualitas pemilihan umum. Pemilih yang terjebak dalam narasi polarisasi cenderung memilih kandidat bukan berdasarkan program atau kualitas kepemimpinan, melainkan lebih karena afiliasi kelompok atau agama. Hal ini berpotensi melahirkan pemerintahan yang kurang efektif
Untuk mengatasi polarisasi sosial, dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak. Pemerintah dan penyelenggara Pemilu perlu menegakkan aturan yang ketat terhadap penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.Â
Selain itu, media massa dan platform digital juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan kepada publik bersifat objektif dan akurat. Masyarakat pun harus lebih kritis dalam menerima informasi, serta mampu mengedepankan dialog yang sehat dan inklusif guna menjaga persatuan.
Dalam konteks Pemilu 2024, penting bagi semua pihak untuk berkomitmen pada prinsip demokrasi yang sehat dan menjauhi politik identitas yang berpotensi memecah belah. Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik dan mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.