Modernisasi membuat berbagai terobosan dalam kehidupan, utamanya kehidupan sosial. Transisi kehidupan yang dibangun oleh modernisasi membuat sebagian masyarakat cenderung memiliki perilaku yang konsumtif, dengan kata lain adanya peralihan mode masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Masyarakat tradisional yang masih memegang teguh nilai-nilai adat, mulai bergeser kepada nilai-nilai yang dibangun oleh modernitas itu sendiri. Seiring perkembangan teknologi dan berbagai perangkat kehidupan yang modern, membuat masyarakat mulai menjustifikasi berbagai lini kehidupan yang ada.
Masyarakat terbagi ke dalam berbagai golongan dengan kelas-kelas, menciptakan adanya pola kehidupan model baru. Pola kehidupan model baru yang berpengaruh terhadap cara pandang generasi berikutnya. Cara pandang yang ditampilkan sering kali membuat masyarakat terobjektifikasi secara terstruktur. Berbagai anggapan muncul terhadap pola kehidupan yang cenderung cepat serta menuntut persaingan hidup. Persaingan hidup dalam taraf ekonomi terlihat sangat masif, sehingga tidak jarang objektifikasi seperti yang disebutkan di atas muncul dalam masyarakat. Marginalisasi terhadap golongan lemah serta anggapan waste pada masyarakat yang less compettive sehingga kehormatan masyarakat direduksi. Nilai masyarakat didasarkan pada nilai ekonomi atau standar ekonomi neoliberal. Seseorang yang tidak mampu bersaing secara ekonomi dinilai "tidak berharga" atau "sampah". Hal ini karena adanya overheating akibat modernisasi yang terus berkembang.
Overheating merupakan awal mula terbukanya gap gender yang semakin melebar. Peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat saat ini mulai mengalami pengaburan bahkan nilai absolut yang dahulu dianut masyarakat, tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan sosial. Contoh kongret yang ditampilkan dalam masyarakat adalah perkembangan dalam sektor pendidikan dan pekerjaan. Sektor pendidikan dan pekerjaan yang dahulu didominasi oleh kaum laki-laki mulai beralih dengan dominasi kaum perempuan. Sektor-sektor formal yang dahulu dikuasai oleh kaum laki-laki, saat ini mampu pula dikuasai oleh para perempuan. Pertanyaan paling mendasar yang sering menggaung dalam masyarakat modern saat ini adalah terkait keamanan dan kenyamanaan  posisi perempuan memasuki sektor-sektor yang dahulunya didominasi oleh kaum laki-laki.
Dalam konteks gender yang timbang sering kali keamanaan perempuan yang menempati ranah publik sering menjadi berbagai perdebatan bahkan kajian yang belum menemukan solusi terbaik hingga saat ini. Kasus-kasus yang terjadi membuat miris sebagai masyarakat yang mendengar atau menyaksikan fenomena gender yang timbang ini. Mulai dari kasus ringan seperti halnya pelecehan hingga kasus berat yang masuk dalam kriminalitas sering dialami oleh perempuan. Kasus kekerasan sering dialami perempuan baik dalam ranah privat (rumah tangga) maupun ranah publik dalam berbagai sektor.
Perempuan yang mengalami kekerasan seksual ataupun pelecehan terkadang hanya bisa diam membisu tanpa bisa memberikan perlawanan lebih. Konotasi masyarakat terhadap berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan sering kali berorientasi pada nilai moral yang mendiskreditkan perempuan. Keadilan yang diberikan pun sering kali tidak dapat dikatakan sebagai keadilan. Susahnya menuntut keadilan pada kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan, membuat perempuan hanya bisa menanggung penderitaan yang tiada tara sepanjang hidupnya. Teriakan perempuan seolah tidak ada taringnya hingga kasusnya berlalu begitu saja.
Alibi yang digunakan sering tidak masuk akal, karena adanya dominasi moral dan kesucian yang ada dalam masyarakat. Paradoks perkembangan pada masa modernitas dimana dunia pengetahuan dan teknologi berkembang pesat justru semakin membuat keamanan perempuan terancam. Banyaknya perempuan yang masuk ke dalam ranah publik, tidak mereduksi atau bahkan mengurangi kekerasan seksual yang dialami oleh para kaum perempuan. Dominasi "keberhargaan" dan "kehormatan" perempuan dalam masyarakat masih dinilai minim, sebab tertindih dengan adanya moral dengan standar yang tidak masuk akal, sehingga keadilan bagi keamanaan perempuan masih perlu dipertanyakan kepada khususnya masyarakat modern pada saat ini.
Kemana perempuan harus mencari keadilan atas ketidakadilan yang menimpanya? Apakah mungkin sesama perempuan dapat menjadi pembebas bagi kaumya? Ataukah kaum perempuan memang ditakdirkan hanya bisa terdiam dengan segala penderitaan yang dialaminya? Mengapa tidak ditemukan ruang aman untuk perempuan di tengah masyarakat yang didominasi oleh patriarki? Benarkah perempuan hanya dijadikan objek dalam second class kehidupan masyarakat? Lalu bagaimana konsep berdaya yang menjadi pandangan masyarakat saat ini?
Sulitnya bukti empiris terkait "pembebasan" perempuan, dan berbagai sumber penguat yang justru disalahartikan demi dominasi kuasa kaum laki-laki memasukkan kaum perempuan ke dalam second class kehidupan masyarakat. Pandangan akan perempuan baik secara moral harus mengabdi dan aseksual menjadi parameter yang sering menciptakan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Nilai agama yang digaungkan sering kali hanya dijadikan "pembenaran" bagi para oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Apresiasi akan kedudukan perempuan juga lemah memperparah ketidakamanan posisi perempuan adalam kehidupan bermasyarakat.
Uncounted activities yang menganggap perempuan bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) tidak dianggap, semakin melemahkan posisi perempuan. Struktur sistem yang timpang menggunakan gender sebagai "alat legitimasi" kekuasaan. Kekuasaan dimainkan untuk memperkuat reproduksi ketimpangan. Ketimpangan yang dihasilkan tersebut tidak terlihat karena adanya sistem yang disembunyikan sehingga melahirkan simbolic violence. Di Indonesia ketimpangan gender diproduksi disebabkan adanya agama, budaya, dan adat.
Pandangan kepatutan peran juga sering mewarnai ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat. Pandangan "orang lain" dalam menentukan kepatutan gender juga semakin mempersulit posisi perempuan. Ketimpangan gender dapat disebabkan oleh adanya relasi kuasa dan ekonomi. Sebagai contoh adalah penindasan simbolik yang membuat ketimpangan relasi gender Kartini  dan suami yang menikah menjadi istri kedua, demi menyelamatkan posisi ayahnya (bawahan bupati). Contoh lain yang merupakan penindasan simbolik adalah Siti Nurbaya yang menikah dengan Datuk Maringgih demi membayar hutang ibunya (perempuan menindas perempuan).
Sampai saat ini kontruksi gender dan ketimpangannya masih menjadi bahasan baik dalam ranah intelektual maupun masyarakat pada umumnya. Belum ada solusi pasti yang dapat diberikan kepada perempuan baik sesama perempuan ataupun dalam kehidupan sosial. Masyarakat belum bisa membuat terobosan "ruang" ramah perempuan yang menjamin keamanan dan kenyamanan perempuan. Perlu adanya kontruksi ideologi yang berakar pada budaya dengan konstruk agama. Â Kontruksi gender yang pasif perlu didekontruksi dan rekontruksi ulang, sehingga melahirkan pandangan perempuan sebagai subjek yang aktif.
Subjek aktif di sini adalah perempuan memiliki otoritas sehingga tidak hanya menjadi second class dalam kehidupan sosial. Subjek aktif membuat perempuan mampu bersuara dan menyuarakan keadilan bagi kaumnya. Perempuan perlu diberi pilihan bukan saja hanya dipilihkan atas dasar pilihan yang tidak dikehendakinya, melainkan ditanya, diajak diskusi, dan diberikan pilihan untuk memilih sesuai keinginannya. Dengan begitu perempuan akan jauh lebih memiliki "ruang" yang aman dan nyaman untuk keadilannya. Hal tersebut dengan kata lain adalah perlu adanya negosiasi aktif terhadap nilai budaya yang ada di dalam masyarakat sehingga posisi perempuan menjadi lebih secure, dan memperkecil kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dalam ranah privat maupun publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H