Dalam Undang- Undang Dasar 1945 Â pasal 28 C ayat 1 yang berbunyi : "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia." Pertanyaan yang sering ditanyakan pada masyarakat umum terkait dengan pemerataan pendidikan. Menjadi dialog antara masyarakat lokal dengan kalangan pemerintah. Mengapa pemerataan pendidikan tidak dapat dirasakan sampai ke desa maupun pelosok wilayah Indonesia? Mengapa seolah masyarakat pelosok tidak berhak untuk memperoleh pendidikan? Sulitnya akses pendidikan di daerah pelosok memuat duka yang mendalam di kalangan masyarakat sampai saat ini.
Tidak jarang program-program yang diupayakan oleh pemerintah belum berdampak secara signifikan bagi kemajuan pendidikan masyarakat daerah  pelosok. Kebingungan sering kali dirasakan oleh masyarakat lokal terkait nasib pendidikan anak-anaknya. Kondisi yang memprihatikan membuat angka anak putus sekolah di daerah pelosok semakin tinggi. Pertentangan batin sering kali dirasakan membuat anak-anak di daerah pelosok tidak memiliki pilihan lain selain membantu orang tuanya mencari nafkah.
Melansir dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 angka anak putus sekolah secara keseluruhan untuk jenjang SD berada di angka 0.71 %, jenjang SMP 6,94%, dan angka anak putus sekolah jenjang SMA mencapai 22,52%. Menandakan masih perlunya upaya untuk menekan angka anak putus sekolah ke persentase terkecil. Upaya tersebut sejalan dengan nilai di dalam Undang- Undang Dasar 1945 Â pasal 31 ayat 1 menyatakan hak dan kewajiban warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan, sementara ayat 2 menegaskan hak dan kewajiban warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar serta tanggung jawab pemerintah untuk membiayainya.
Tertera dengan terang bahwa pendidikan merupakan hal yang memiliki urgensi penting untuk kemajuan. Melihat tujuan dan amanat di dalam Undang- Undang Dasar  1945 harusnya pendidikan mampu menyentuh berbagai kelas sosial. Dalam ranah yang lebih mendalam pendidikan yang baik seharusnya pendidikan yang mampu menyejahterakan bukan saja dari segi sosial tetapi juga finansial. Tidak membebankan tetapi justru memberikan berbagai peluang. Pendidikan seharusnya mampu dijadikan alat perubahan.
Melihat fenomena sekarang yang mana pendidikan justru dijadikan alat komersialisasi. Keterbukaan akses pada era globalisasi membuat sekolah seakan-akan memperjualbelikan pendidikan. Kebanyakan guru seolah-olah memiliki mental "pedagang" sehingga kehilangan pamor untuk menjadi teladan. Konsep guru sebagai orang yang dapat "digugu" dan "ditiru" mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman. Pendidikan semakin hari semakin mahal saja. Membuat seakan-akan orang miskin tidak memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Akses pendidikan yang semakin sulit akibat tingginya biaya yang harus dikeluarkan membuat keputusasaan arus bawah (orang miskin). Orang yang hidup dalam garis kemiskinan terutama yang berada di pelosok Indonesia sering terdampak dengan hal ini. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak sering terabaikan oleh keadaan ekonomi keluarga. Kebanyakan dari mereka putus sekolah di usia yang terbilang muda. Fokus mereka teralihkan dengan membantu orang tua bekerja.
Fenomena yang demikian sudah menjadi hal yang biasa di kalangan masyarakat kita saat ini. Generalisasi padangan mulai terjadi di masyarakat. Menempatkan pandangan bahwa pendidikan hanya hak orang kaya tanpa mempedulikan nasib kaum miskin. Pendidikan yang dalam undang-undang merupakan hak setiap warga negara Indonesia hanya sebagai wacana belaka. Mimpi kemajuan lewat pendidikan hanya berlaku untuk orang kaya. Lalu, bagaimana nasib orang yang hidup dalam garis kemiskinan? Apa yang dapat mereka lakukan?
Semua kembali kepada pribadi masing-masing orang. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk berumah tangga atau bekerja. Menjadi alat produksi yang tidak memiliki pilihan. Mata rantai kemiskinan terus bergulir karena hidup dalam kebodohan dan belenggu kesengsaraan. Pendidikan yang sejatinya diharapkan mampu mengubah kehidupan ke arah kemajuan tidak dapat dirasakan. Benturan keadaan dan tradisi juga menjadi faktor pendukung sulitnya seseorang memperoleh pendidikan.
Untuk itu perlu adanya telaah lanjutan dan kesadaran bersama untuk mau mengintrospeksi diri ke arah perbaikan. Pendidikan di Indonesia harus dikembalikan dengan dasar Undang- Undang Dasar 1945 dan nilai Pancasila. Memang bukan tugas yang mudah untuk melakukannya. Terdengar utopis dan mengada-ngada, akan tetapi kalau tidak pernah dicoba bagaimana kita tahu? Siapa lagi yang akan menyelamatkan nasib bangsa ke depan? Ajang refleksi kita bersama untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H