Entah ada angin apa rasanya aku ingin segera meneleponmu. Menunggumu meneleponku duluan bagaikan menunggu es mencair di Kutub Utara. Lama tak kudengar kabarmu rasanya tubuhku kekurangan nutrisi. Sejenak otak dan hatiku berantem. Di otak, kenapa harus telepon orang yang mungkin gak peduli sama kamu? Tapi di hati, apa salahnya menelepon duluan? Katakan padanya bahwa kamu peduli dan mengkhawatirkannya. Gak ada salahnya. Sejenak lagi aku coba menelaah, mana yang harus aku ikuti. Pada akhirnya kata hatiku lebih ngotot timbang otakku.
Dering pertama, dering kedua dan dering ketiga akhirnya kumendengar suaramu. Bahagia seketika menghampiri. Alhamdulillah kamu masih hidup, batinku. Kami bertukar cerita menunjukkan bahwa seakan semua baik-baik saja. Bahwa baginya gak memberi kabar kepadaku itu hal yang biasa. Iya juga sih toh kami ini cuma teman. Tapi apakah dia tahu kalau rindu itu menyiksa? Apakah dia tahu kalau mendengar kabar darinya merupakan semangatku?
"...J ketemuan yuk." ajakku.
"Kapan? Sekarang? Kalo sekarang belum bisa Mir. Laporanku belum selesai sementara besok udah Senin, meeting mingguan sis." jelasnya.
"Kerja teruusss.. kapan liburannya sih kamu?" godaku.
"Iyaa nih kebetulan bulan ini padet banget menjelang akhir tahun kan biasalah. Emang kamu enggak yaa? Eh iya deng seorang freelancer mana mengenal laporan ke atasan yaa, adanya laporan ke klien hehe." dia ngajak bercanda.
Aku menanggapi dengan "hmmm hmmmm".
"Sorry banget ya Mir belum bisa ketemu. Semoga pertengahan bulan kita bisa ketemu yaa. Kamu belum ada jadwal ke luar lagi Mir?"
"Luar mana?"
"Luar Negeri?"