Mohon tunggu...
Andini Harsono
Andini Harsono Mohon Tunggu... Freelancer - Traveler - Blogger - Freelancer

Mengurai dunia dengan rasa, pikir dan syukur... Salam sastra Salam budaya Salam berkarya FB : Andini Harsono Twitter : @andiniharsono Instagram : @andini_harsono

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melewatkanmu

29 Desember 2018   22:53 Diperbarui: 29 Desember 2018   23:08 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
re-design by andiniharsono

Senja memerah menghiasi sore Jakarta sepanjang minggu ini. Semua orang memanfaatkan keindahan alam ini untuk beraktivitas keluar rumah. Tak jarang mereka sengaja hunting lokasi untuk mengabadikan momen senja yang jarang-jarang terjadi di Ibukota karena selalu ditutupi oleh polusi.

Aku tak mau kalah. Pukul 16.30 tepat aku keluar rumah sore ini dan berjalan di trotoar sepanjang Jalan Rasuna Said untuk menikmati semilir angin dan indahnya langit biru lengkap dengan awan putihnya yang menggantung manja di sela-sela gedung.

"Dee, proposal kita diterima. Hahaha kita berhasil Dee." pesannya pada aplikasi Whatsapp yang memudahkan komunikasi semua orang di muka bumi ini.

"Oya? Wah alhamdulillah Mas. Selamat ya." balasku dengan emoticon nyengir diakhir kalimat.

"Selamat? Ah proposal ini kan kamu yang buat Dee. Harusnya aku yang mengucapkan selamat dan terima kasih padamu. Berkat kamu, ideku yang cuma bisa kupendam aja selama ini bisa terwujud."

"Hayah. Ya sudah berkat kerja sama kita, proposal itu berhasil hehe."

"Oya Dee kamu lagi dimana? Aku samperin ya."

"Di Taman Epicentrum Mas. Boleh, ke sini aja, kita nyore di sini."

Sore semakin mendekati malam. Dia datang seiring senja mulai berubah warna.

"Hei Dee. Ya ampun seru banget sih duduk sambil baca dan telingamu dijejali musik." sapanya sembari menabrakkan bahunya di bahuku.

"Ah kamu datangnya agak telat Mas, langitnya udah berubah, coba setengah jam yang lalu, bagus banget."

"Hahaha gak apa-apa deh, yang penting kan ketemu kamu bukan ketemu langit." tambahnya sambil cengar-cengir.

"Lagipula memang aku terlambat Dee, sedari dulu aku sudah terlambat memenangkan hatimu."

Dia selalu mengucapkan hal ini berulang-ulang. Semakin sering dia mengucapkannya semakin teriris hatiku.

"Halah selalu deh, gombal. Udah ah males kalau ngomong kayak gitu lagi." sahutku sambil mengangkat badan berjalan menuju tepi selokan.

"Hahaha ya ya ok ok, gak lagi-lagi deh. Oya kita ngopi yuk di sana." ajaknya sambil menunjuk coffee shop yang berada di pelataran perkantoran.

Kami pun berjalan menuju tempat nongkrong anak gaulnya Kuningan after office. Perjalananku sore ini ditutup dengan senyumnya yang selalu hadir ketika di hadapanku.

"Dee, program kita bisa berjalan bulan depan. Mereka minta dilaksanakan awal bulan depan saja agar kita masih punya cukup waktu untuk mempersiapkan materi-materinya. Lalu nanti aku kontak kawan-kawan yang punya waktu agak leluasa untuk turun di lapangan, karena aku yakin kamu pasti akan sibuk dengan pekerjaanmu yang lain kan?" jelasnya membuka diskusi tentang program penulisan dan pemanfaatan sosial modia bagi UMKM di daerah-daerah.

"Iya Mas atur aja. Bulan depan aku masih bisalah ngawal, tapi bulan depannya lagi sepertinya aku absen dulu karena harus berangkat ke Tokyo." jelasku sambil menyeruput Green Tea Latte, minuman favoritku.

"Nah kan sudah kutebak. Silakan Dee. Lakukan semua hal yang kamu anggap baik untukmu, traveling-lah keliling dunia, nikmati hidupmu."

"Hahaha. Iya nih Mas, traveling itu nagih. Apalagi yang bisa aku lakukan selain traveling dan kerja?"

"Iya Dee, lakukanlah. Yang terpenting buatku adalah senyummu. Lakukan apa aja sesukamu, semua hal yang bisa buatmu tersenyum, aku akan bahagia. Sekali lagi Dee, terima kasih atas proposal ini.

Sebelumnya ide ini hanya menjadi benda mati di kepalaku. Aku gak tahu siapa yang bisa membantuku. Ternyata orangnya kamu Dee. Terima kasih. Kamu telah membuatku hidup kembali." kali ini dia tampak serius merangkai kata-kata. Sorot matanya yang tajam tidak lepas dari mataku.

Ah gila, aku tidak bisa menantang matanya. Tajam, menyorotkan harapan besar, terkadang terkesan egois, namun, hmm ya, aku bisa merasakannya.

Bukan hanya kamu saja Mas yang merasa hidup kembali, aku juga. Setelah 10 tahun kita tidak berjumpa bahkan selama itu pula banyak hal yang aku tidak tahu. Entah takdir menuliskan apa. Tiba-tiba enam bulan yang lalu kita bertemu lagi dan menjalin komunikasi berbuah pekerjaan bersama.

Entah apa yang sedang direncanakan Tuhan. Lagi-lagi soal perasaan, lagi-lagi soal hati yang tak mampu melihat dengan jernih. Lagi-lagi. Enam bulan ini aku menemukan diriku kembali setelah perjalanan panjang yang aku lewati.

Aku pernah terperangkap pada pikiranku sendiri sehingga melakukan beberapa tindakan bodoh dan berakhir penyesalan. Aku menyalahkan diriku sendiri dan dia menyadarkanku tentang sebuah perjalanan hidup, tentang sebuah pendewasaan dan tentang takdir. Ya, lagi-lagi.

"Hmm bisa aja. Aku hanya membantu sebisaku. Aku juga ingin kamu menikmati hidupmu Mas. Selama ini aku perhatikan kamu sibuk kerja, kerja dan kerja. Bahkan aku jarang melihatmu jalan-jalan bareng keluargamu. Sesekali lakukanlah." kalimat demi kalimat kususun rapi agar dia tidak bisa menebak gemuruh hatiku saat menatap matanya.

"Iya akan aku lakukan setelah program kita berjalan lancar." ucapnya sambil tersenyum menunduk.

"Tuh kan, kerja lagi. Sudahlah Mas masih ada waktu untuk menjalankan program itu. Weekend inilah ajak jalan mereka ke mana kek gitu. Puncak, Bogor, Sukabumi atau Cianjur. Oya aku ada teman di Sukabumi nanti bisa diantar kalian ke perbatasan Cianjur. Jadi Nadia bisa main-main sama sapi, kerbau juga kelinci di sana. Pasti dia suka." Lagi-lagi matanya tidak lepas dari mataku.

"Kamu Ibu yang baik Dee."

"What? Aku belum jadi Ibu. Hmm iya sih keponakan banyak hehe." candaku.

"Harusnya kamu yang menjadi Ibu dari anak-anakku. Sepuluh tahun berjalan begitu cepat Dee, sampai aku gak menyadari bahwa hidup kita sudah berbeda." dia kembali menundukkan kepalanya melihat cangkir kopi hitam toraja yang telah dihabiskan setengahnya.

Harusnya aku tak pernah melewatkanmu, Mas, lirihku dalam hati. Tak kusangka aku begitu menikmati sorot matanya yang banyak orang bilang tajam, seram, bahkan kejam. Tapi di sana terpancar jelas sebuah keberanian sebagai laki-laki menghadapi apapun yang terjadi di dunia ini. Ya, dengan tegas mata itu mengatakan, "Aku lelaki."

"Sudahlah Mas, ini takdir. Kamu kan teman baikku, kamu akan selalu jadi teman baikku Mas. Bahagiamu bersama keluarga kecilmu sekarang adalah bahagiaku juga. Doakan aku, ikhlaskan aku agar aku bisa mempunyai keluarga yang bahagia juga sepertimu." kurendahkan nada bicaraku, bahkan hampir berbisik.

Kubiarkan dia menatapku tajam dan kubalas tatapan itu. Kubiarkan pula suara-suara gemuruh menghujam jantungku saat ini, dan ternyata baru kusadari, melewatkanmu adalah kesalahan besar dalam hidupku.

"Atas dasar apa kamu begitu yakin bahwa aku bahagia?" tanyamu memecahkan hening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun