Analisis film 12 Years Slave berdasarkan sudut pandang Etnosentrisme, Stereotip, Diskriminasi dan Jarak Sosial
Perbudakan dan rasisme merupakan perlakuan yang paling menyedihkan dalam catatan sejarah umat manusia. Maka dari itu terkadang film yang mengangkat tema tersebut selalu menjadi tema yang sering mendapatkan perhatian dari banyak orang. Terlebih kisah yang diangkat merupakan kisah nyata yang pernah dialami oleh seseorang.
Salah satu film yang mengangkat tema tersebut bisa kita lihat pada film 12 Years a Slave karya sutradara Steve McQueen. Film pemenang penghargaan Golden Globe 2014 kategori Film Drama Terbaik ini merupakan film yang diangkat dari kisah nyata seorang pria bernama Solomon Northup. Solomon Northup merupakan pria terhormat dari New York yang secara tiba-tiba direnggut kebebasannya dan dijual menjadi budak di Louisiana.
Film ini bercerita tentang bagaimana kehidupan di Amerika Serikat di tahun 1841, yang masih melegalkan perbudakan terhadap warga kulit hitam atau negro.Â
Bagaimana pada saat itu SARA masih menjadi masalah diskriminasi identitas disana dan sangat lumrah terjadi. Jika kita analisis komunikasi antarbudaya film ini sangat menggambarkan bagaimana sekelompok orang melakukan kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan etnosentrisme, diskriminatif serta jarak sosial.
Etnosentrisme merupakan suatu persepsi atau pandangan yang dimiliki oleh masing- masing individu yang menganggap bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih baik dari budaya lainnya atau membanggakan budayanya sendiri dan mengganggap rendah budaya lain. Melihat dari definisi etnosentrisme sendiri dalam film ini bisa dibuktikan dengan jelas bagaimana ras kulit putih sangat menganggap mereka adalah yang lebih baik dari ras kulit hitam. Dan sebaliknya mereka sangat membenci bahkan menganggap ras kulit hitam adalah buruk.
Cerita bagaimana seorang musisi Solomon Northup bisa menjadi korban perbudakan adalah suatu hari ia menerima tawaran pekerjaan sebagai pemain sirkus oleh kerabat kerjanya bernama Brown dan Hamilton. Disana ia bukannya diberikan pekerjaan, sebaliknya Solomon Northup dibius dan diculik untuk dijual sebagai budak. Northup menemukan status barunya sebagai budak ketika segala sesuatunya sudah terlambat. Ketika diculik dan mencoba memberontak untuk keluar mengakui bahwa dirinya adalah seorang yang bebas atau merdeka, Northup malah disiksa, dipukul dan dicambuk untuk diam. Dan tentu saja yang menyiksanya merupakan dari golongan kulit putih.
Ketika sampai di tempat penjualan budak, di film ini kita bisa lihat bagaimana penjualan manusia merupakan hal yang sangat sepertinya biasa dan lumrah, mereka diperjualbelikan dan dipisahkan dari keluarga mereka.Â
Perilaku diskriminatif terlihat jelas disini, mereka yang diperjualbelikan merupakan mereka yang dari golongan ras kulit hitam dan yang membelinya adalah dari golongan ras kulit putih yang kaya. Mereka budak yang diperjualbelikan dipaksa untuk mengganti nama mereka, termasuk Northup sendiri ia dipaksa untuk mengganti nama baru menjadi Platt, seorang budak pelarian dari Georgia.
Latar belakang film ini bukan hanya tentang perbudakan berdasarkan perbedaan warna kulit saja, tapi juga didukung oleh politisasi agama, dimana agama ikut mengklaim bahwa warga kulit hitam dianggap sebagai kaum yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi budak bagi kaum kulit putih. Sungguh sangat ironis.
Stereotip yang terdapat dalam film ini sangat banyak dibuktikan secara jelas lewat percakapan-percakapan yang muncul, baik itu untuk ras kulit hitam dan ras kulit putih.Â
Salah satu adegan dimana Solomon Northup berada di tempat peradangan budak, ia bertemu dengan beberapa negro lain yang mana mereka menyusuh strategi untuk kabur bersama tapi justru mereka merasa bahwa negro adalah ras yang lemah. Salah satu dari mereka berkata "... ini direncanakan dengan baik, mereka pasti memiliki senjata (ras kulit putih). Sementara yang lain hanyalah negro, yang terlahir dan dibesarkan sebagai budak. Negro tak punya keberadaan untuk melawan. Tak satupun.."