"Dimas..." suara Pak Jaka bergetar.
"Ayah," jawab Dimas, menghampirinya.
Pak Jaka berdiri dengan gemetar, lalu tiba-tiba memeluk Dimas erat. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah telah menyia-nyiakanmu. Ayah terlalu keras... Padahal, kamu selalu ingin membantu keluarga."
Dimas membalas pelukan itu dengan air mata yang berlinang. "Ayah, aku nggak pernah marah. Semua yang aku lakukan adalah untuk kita. Aku hanya ingin kita bahagia."
Bu Siti keluar dari rumah dengan wajah terharu melihat kedua orang yang ia cintai akhirnya saling memaafkan.
Malam itu, keluarga mereka berkumpul untuk pertama kalinya tanpa kemarahan. Dimas menceritakan kehidupannya di kota, dan Pak Jaka berulang kali meminta maaf atas sikapnya dulu.
Dimas menatap laut di pagi hari berikutnya. Ombak terus bergulung-gulung, sama seperti dulu. Namun kali ini, ia tahu, ombak tidak hanya membawa luka. Ombak juga membawa harapan bagi mereka yang cukup kuat untuk menghadapinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H