Mohon tunggu...
Andin Cholid
Andin Cholid Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan

Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memaksakan Undang-Undang Pangan kepada Pasar

28 Januari 2019   14:54 Diperbarui: 28 Januari 2019   15:28 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun tugas tersebut berubah dengan keluarnya Keppres No. 45 tahun 1997, dimana komoditas yang dikelola BULOG dikurangi dan tinggal beras dan gula. Selanjutnya melalu Keppres No 19 tahun 1998, ruang lingkup komoditas yang ditangani BULOG kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah dengan pihak IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Sehingga tugas pokok BULOG dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas lain yang dikelola selama ini dilepaskan ke mekanisme pasar.

Arah Pemerintah mendorong BULOG menuju suatu bentuk badan usaha mulai terlihat dengan terbitnya Keppres No. 29 tahun 2000, dimana didalamnya tersirat BULOG sebagai organisasi transisi (tahun 2003) menuju organisasi yang bergerak di bidang jasa logistik di samping masih menangani tugas tradisionalnya. Arah perubahan tesebut semakin kuat dengan keluarnya Keppres No 166 tahun 2000, yang selanjutnya diubah menjadi Keppres No. 103/2000. Kemudian diubah lagi dengan Keppres No. 03 tahun 2002 tanggal 7 Januari 2002 dimana tugas pokok BULOG masih sama dengan ketentuan dalam Keppers No 29 tahun 2000, tetapi dengan nomenklatur yang berbeda dan memberi waktu masa transisi sampai dengan tahun 2003. Akhirnya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI no. 7 tahun 2003 BULOG resmi beralih status menjadi Perusahaan Umum (Perum) BULOG

Mencermati sejarah Perum BULOG diatas dapat diketahui bagaimana posisinya di dalam penyelenggaraan kenegaraan. Sebelum masa kemerdekaan, BULOG telah berkecimpung dalam berbagai urusan pangan karena sedemikian penting dan strategisnya pangan sebagai landasan negara. Pun setelah masa kemerdekaan, baik di masa awal kemerdekaan sampai dengan runtuhnya orde baru di tahun 1998, BULOG dengan statusnya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) memiliki peran yang sangat kuat terhadap pasar, terlebih sejak tahun 1967 awal era orde baru. Pada masa itu bisa disebut BULOG berperan sebagai regulator sekaligus operator yang mengendalikan pasar.

Kuatnya peran BULOG didukung oleh setidaknya 3 faktor utama. Pertama, stabilitas politik pada era orde baru berjalan cukup lama yakni selama 31 tahun. Pemerintah saat itu cukup kuat dan berwibawa, mungkin otoriter. Kebijakan perberasan yang dikeluarkan menjadi referensi berharga bagi petani, pelaku perberasan, aparat birokrasi, dan masyarakat. Tiga dekade pada masa pemerintahan Suharto pangan mendapat perhatian yang serius, tidak hanya di sektor hulu saja, tetapi sampai dengan sektor hilir dengan adanya kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah. Kedua, Pemerintah saat itu sangat berkuasa atas pangan sehingga mudah mengendalikan pasar. Orientasi pengendalian terhadap pasar sangat didukung oleh Pemerintah berupa penambahan berbagai komoditi yang dikelola BULOG sekaligus bersamaan dengan konskuensi pendanaan yang dibiayai oleh Pemerintah. Bahkan untuk mendukung pendanaannya, BULOG mendapatkan kredit likuiditas dari Bank Indonesia (KLBI).  Ketiga, pada masa itu kondisi pasar yang terjadi adalah pasar statis yang belum terkooptasi oleh tehnologi informasi, belum sedinamis sekarang. Satu satunya media penyebaran informasi le seluruh penjuru wilayah adalah stasiun televisi dan radio milik Pemerintah. Informasi pergerakan pasar dan harga betul-betul berada dibawah kendali Pemerintah. Berbagi informasi diantara pelaku pasar pada waktu dulu sebatas pada informasi harga, belum menyentuh jalur supply sehingga dengan sendirinya perilaku kartelisasi diminimalisir.

BULOG TERJEPIT
Berbeda penerapan HDPP dulu dengan HPP sekarang. Pada masa itu, harga dasar (floor price) gabah ditetapkan di atas harga pasar yang berlaku. Jadi jelaslah Pemerintah memberikan perlindungan kepada petani atas risiko harga jatuh, terutama pada musim panen. Karena harga dasar ditetapkan di atas harga pasar, maka terdapat kelebihan pasokan (excess supply) di pasar. Pemerintah melakukan pembelian kelebihan suplai tersebut, untuk  digunakan untuk mengisi  cadangan beras. Persediaan beras tersebut dimaksudkan untuk dua hal, yakni pertama, keperluan strategis atau cadangan besi (iron stock) yang mirip cadangan beras pemerintah (CBP) pada saat ini, dan kedua, cadangan penyangga (buffer stock) atau mirip cadangan beras operasi pasar pada saat ini.

Pada saat kebijakan HDPP diterapkan, harga atap (ceiling price) ditetapkan di bawah harga pasar, karena filosofinya memang dimasukkan untuk melindungi konsumen dari lonjakan harga beras. Karena  harga atap ditetapkan di bawah harga keseimbangan, maka akan terjadi terdapat kelebihan permintaan beras. Pemerintah melakukan stabilisasi harga beras dengan melaksanakan operasi pasar, yaitu menjual beras kepada konsumen dengan harga yang disubsidi. Dengan setting kebijakan harga yang cukup ketat tersebut, fluktuasi harga gabah dan beras masih dapat dibenarkan, sepanjang tidak lebih tinggi dari harga atap beras, dan tidak lebih rendah dari harga dasar gabah. Inilah fungsi stabilisasi yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pada masa lalu, Inpres Perberasan sering disebut sebagai kebijakan harga, karena kebijakan tersebut memang diupayakan untuk memberikan perlindungan harga bagi produsen, melakukan stabilisasi harga di tingkat konsumen, dan antisipasi risiko jika terjadi gangguan terhadap sistem produksi. Inpres Perberasan saat ini justru menjadi beban pada satu satunya lembaga yang mempunyai potensi mengendalikan pasar. Namun sampai dengan saat ini belum ada terlihat arahan Pemerintah bagi Perum BULOG untuk meningkatkan level kualitas komoditi beras yang dikelola sebagai cadangan pangan. Pemerintah masih meminta Perum BULOG melakukan pengadaan beras dalam negeri dengan standar kualitas masih medium saja, padahal sudah jelas terdapat perbedaan segmentasi.

Pada masa kini, kebijakan HPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah seolah menjadi informasi basi. Meskipun diberlakukan flesibiktas harga terhadap Inpres 5/2015 realitanya HPP amat sulit untuk diharapkan mampu berfungsi pada dua sisi sekaligus di tingkat produsen dan konsumen. HPP hanya berfungsi di tingkat produsen dengan melindungi harga jual gabah petani diatas Rp 4.650,00 karena dipasar harga sudah mencapai lebih dari Rp 5.000,00. Tapi di tingkat konsumen harga pasar yang terjadi berkisar Rp 9.500,00 justru melebihi HPP Rp 8.030,00.  Sehingga para mitra, Satgas Perum BULOG  dan juga TNI berpacu dengan para pelaku pasar, yang umumnya lebih siap dan sedia dalam membeli gabah-gabah petani diatas harga yang ditetapkan dalam HPP.

Meskipun diberikan fleksibilitas dalam rangka stabilisasi, harga gabah petani secara perlahan tetap akan meningkat, bahkan sampai jauh di atas HPP. Pada kondisi inilah, HPP seakan tidak mampu memberikan perlindungan kepada petani karena berada dibawah harga pasar. Ancaman berikutnya adalah bahwa target pengadaan oleh Perum BULOG menjadi sulit untuk terpenuhi. Siklus berikutnya, kemampuan operasi pasar oleh BULOG juga akan terpengaruh. Pada momentum sebelum Ramadhan dan masa paceklik (november -- februari) harga beras akan kembali naik. Pada kondisi inilah masyarakat akan mempertanyakan efektivitas dari HPP beras sebesar Rp 8.030,00 per kilogram, karena realita yang terjadi adalah harga bertengger jauh diatas HPP meskipun dapat distabilkan fluktuasinya. Harga beras di pasar dapat distabilkan dan dicegah kenaikannya bukan karena faktor HPP, melainkan efek informasi importasi yang diviralkan oleh Pemerintah. Dan Perum BULOG semakin terjepit posisinya.

Dalam penyelenggaraan pangan, posisi BULOG terjepit diantara kebijakan Pemerintah yang dijalankan secara parsial. Kebijakan yang dikeluarkan oleh satu kementrian dengan kementrian bisa berbeda haluan. Terkait stabilisasi harga misalnya, meskipun pembahasannya dilakukan di Kemenko yang dihadiri oleh Kementan, Kemendag, Perum BULOG, produk kebijakan yang dihasilkan hanya seputar permasalahan harga saja. Pada rakortas,  Kementan mengusulkan HPP dengan tujuan melindungi harga gabah di tingkat produsen (petani), karena sebagian besar petani menjual dalam bentuk gabah. Sedangkan Kemendag mengusulkan HET untuk melindungi daya beli konsumen dengan pertimbangan inflasi. Disinilah posisi bulog terjepit diantara kepentingan kementrian. Perum BULOG sebagai perpanjangan tangan Pemerintah berperan menjadi operator kebijakan yang ditugaskan menjaga stabilitas harga pangan karena posisinya yang ideal berada tepat diantara petani dan konsumen. Namun tidak disertai dengan instrumen yang menguatkan peran Perum BULOG, terlebih menghadapi mekanisme pasar.

PERSEPSI MENJADI IRONI
Pemerintah tetap berharap dengan Inpres pasar akan merespon sebagai upaya stabilisasi harga, sehingga Perum BULOG dapat menguatkan CBP dan memperpendek rantai pasok perdagangan beras dari petani ke konsumen. Namun faktanya di lapangan harapan tersebut tidak tercapai karena mekanisme pasar yang sudah terlalu kuat mencengkeram pasar selama dua dekade lebih. Pada masa lalu, Inpres Perberasan sering disebut sebagai kebijakan harga, karena secara teoritis kebijakan tersebut memang diupayakan untuk memberikan perlindungan harga bagi produsen, melakukan stabilisasi harga output, dan melaksanakan manajemen risiko, apabila terjadi gangguan terhadap sistem produksi. Inpres bukan lagi kebijakan harga, hanya sebatas acuan harga.

Sudah terjadi perubahan yang sedemikian besarnya pada pasar komoditi pangan terutama beras. Pemerintah semakin terlihat melepaskan beras kepada mekanisme pasar dengan bersikeras melaksanakan program BPNT. Namun ketika terjadi gejolak harga hampir semua pihak menudingkan telunjuk kepada Perum BULOG yang dinilai tidak mampu menjalankan amanah ketahanan pangan, karena faktanya meskipun stabil tapi harga beras menjadi tinggi. Persepsi masyarakat bahkan Pemerintah masih menganggap dan memperlakukan Perum BULOG sebagai lembaga Pemerintahan. Maka semakin terjepitlah posisi Perum BULOG menghadapi tuntutan yang sedemikian tingginya namun tidak mendapatkan dukungan dari Pemerintah yang memberikan penugasan pelayanan publik yang sarat dengan tingginya anggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun