Mohon tunggu...
Andin Cholid
Andin Cholid Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan

Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengejar Laju Pasar

25 Januari 2019   13:02 Diperbarui: 25 Januari 2019   13:13 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecuali Pemerintah melakukan blow-up media secara terus menerus maka publik akan terpengaruh secara psikologis dan mengikutinya. Namun hal ini juga menjadi bumerang ketika Pemerintah ternyata tidak konsisten dengan kebijakannya, kepercayaan terhadap Pemerintah akan terkikis dan harga yang terlanjur naik sulit ditekan turun kembali.

DISTORSI PASAR (RASTRA VS BPNT)
Sebenarnya selama ini Pemerintah melalui Perum BULOG secara tidak langsung mengimbangi pergerakan PIBC di pasar beras nasional dengan melaksanakan program RASKIN, tapi sayangnya belakangan program tersebut justru dihapuskan dan diganti dengan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang digagas oleh Kementrian Sosial. 

Selama ini masyarakat tertentu yang memiliki masalah rawan pangan karena faktor ekonomi mendapatkan bantuan pangan dari Pemerintah berupa natura beras dengan jumlah tertentu. Pada masanya jumlah yang diberikan sebanyak 20 kg dengan harga tebus Rp 1.000,00/Kg per kepala keluarga, kemudian berkurang memjadi 15 kg dengan harga tebus Rp 1.600,00/Kg, dan yang terakhir ketika diubah menjadi program bantuan sosial pangan (RASTRA) masyarakat penerima manfaat mendapatkan beras gratis sebanyak 10 kg per bulannya.

Pada saat masyarakat penerima manfaat masih mendapatkan bantuan pangan secara fisik yakni beras, pada saat yang sama masyarakat tersebut masih terlepas dari pengaruh fluktuasi pasar walau tidak sepenuhnya. Dengan mendapatkan beras secara langsung maka penerima manfaat tidak akan mengakses pasar karen sebagian besar kebutuhan pangan pokoknya sudah terpenuhi. Di sisi lain, masyarakat penerima manfaat terlindungi dari dampak fluktuasi harga terutama pada saat terjadi inflasi pada komoditi beras. Berbeda hal jika kemudian masyarakat penerima manfaat diberikan bantuan sosial pangan tidak dalam bentuk fisik tetapi dalam bentuk moneter dengan diberikan voucher. 

Meskipun voucher tersebut dibatasi dalam hal komoditi yang dapat dibeli, tetapi memberikan bantuan moneter seperti ini sama halnya dengan memberikan kesempatan akses ke pasar sehingga menambah permintaan kepada pasar. Masyarakat penerima manfaat yang tadinya tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak harga dan terlindungi  dari fluktuasi harga yang terjadi di pasar justru menjadi penyebab terjadi inflasi karena menambah jumlah permintaan.

Pangsa pasar RASKIN/RASTRA pada tahun 2018 lalu sebesar 15,5 juta KPM atau setara dengan 1,5 juta  ton dan tersebar di seluruh wilayah. Jika pada tahun 2019 ini sebanyak 10 juta KPM mendapatkan program BPNT maka ada sekitar 1 juta ton permintaan kepada pasar. Perlu diingat bahwa pasar beras nasional bukanlah pasar monoplistik atau oligopolis sebagaimana disangkakan oleh beberapa pihak. Pasar nasional lebih cenderung bersifat pasar persaingan sempurna karena sedemikian banyaknya pelaku yang berkecimpung di industri perberasan dan sedemikian luasnya wilayah pasar yang harus dilayani. Dengan adanya tambahan permintaan sebesar 1 juta ton tentu akan direspon oleh pelaku pasar, dan respon yang terjadi adalah kenaikan harga beras secara nasional. Terlebih KPM dibebaskan untuk membelanjakan voucher tersebut sesuai selera, hal ini tentu membuat pasar semakin aktif merespon tambahan permintaan ini. 

Pada kondisi seperti ini perilaku kartelisasi beras semakin menjadi karena akan muncul upaya pengaturan dengan tujuan menghabiskan dana yang terdapat pada voucher BPNT. Sedangkan pendistribusian beras oleh Pemerintah melalui bansos RASTRA hanya ditujukan untuk menjadi lebih kecil daripada distribusi beras diserahkan pada mekanisme pasar.

Di lain pihak Kementrian Sosial yang notabene bagian struktural Pemerintah bersikeras untuk terus mensukseskan program BPNT dengan dalih program ini lebih manusiawi karena KPM dapat menentukan sendiri komoditi yang dikehendaki meskipun dibatasi pada 2 komoditi saja yakni beras dan telur. Kemensos bersikukuh bahwa dengan program ini KPM bisa mendapatkan beras dengan mutu yang lebih baik daripada beras pada program RASKIN/RASTRA. 

Mungkin ada benarnya, namun Kemensos mungkin pula melupakan sesuatu hal yaitu bahwa beras RASKIN/RASTRA yang disediakan oleh Perum BULOG adalah sesuai penugasan yang juga diberikan oleh Pemerintah dengan standar kualitas medium, bukan beras premium yang dipersyaratkan dalam program BPNT. Terlepas dari persepsi kualitas medium dan premium, disini telah terjadi ironi kebijakan yang tidak bersambung kepentingannya. Pemerintah melakukan pengadaan beras demi melindungi harga petani dengan kualitas medium, tetapi untuk melayani masyarakat yang membutuhkan Pemerintah pula yang mengharuskan disalurkan beras premium. Kebijakan yang seharusnya menjembatani kepentingan justru pada akhirnya menyebabkan konflik kepentingan diantara unsur Pemerintahan itu sendiri.

Jika dalih memanusawikan KPM dari beras bermutu kurang baik dan menggantinya dengan beras yang lebih baik, akan lebih bijak jika yang dilakukan adalah menaikkan grade kualitas beras yang diadakan melalui Perum BULOG. Selama ini standar kualitas pengadaan beras yang dilakukan oleh Perum BULOG adalah beras medium yang berada di segmen bawah. Jika standar ini dinaikkan menjadi beras kualitas premium tentu akan lebih memberikan manfaat. 

Pertama, KPM akan lebih puas menerima bantuan pangan dari Pemerintah karena mendapatkan beras dengan mutu terbaik sehingga akan mengurangi perilaku KPM menukar beras yang diterimanya karena dianggap bermutu kurang baik. Kedua, KPM akan tetap terlindungi dari fluktuasi pasar karena tidak perlu lagi membeli beras dengan harga yang ternyata telah naik akibat distorsi pasar. Ketiga, proses stabilisasi untuk meredam laju kenaikan harga dapat lebih efektif karena faktor permintaan untuk melayani masyarakat penerima manfaat tidak dilepaskan pada mekanisme pasar. Dan keempat, tentunya akan meningkatkan citra Pemerintah di mata masyarakat karena berupaya memberikan yang terbaik kepada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun