Dengan perbandingan yang sedemikian jauhnya dapat dipahami mengapa selama ini Pemerintah tidak berhasil mencegah kenaikan harga beras. Yang dapat dilakukan oleh Pemerintah hanya sekedar menahan laju kenaikan harga beras, walaupun terus menerus dilakukan operasi pasar lambat laun harga beras tetap mengalami kenaikan. Terlebih lagi dari aspek segmentasi, beras yang dikuasai Pemerintah di Perum BULOG kualitasnya ada di segmen bawah yang kurang dapat memenuhi preferensi pasar yang lebih besar pangsanya di segmen super dan premium.
MONOPOLI DAN KARTELISASI
Sebagaimana diketahui, komoditi beras adalah pasar yang sangat menjajikan bagi pelaku usaha karena pasarnya yang begitu besar dan permintaannya yang tidak pernah berhenti sepanjang tahun. Dapat dibayangkan besarnya pasar ini, sama besarnya dengan jumlah penduduk yang membutuhkan nasi sebagai pangan pokok namun tidak diimbangi dengan jumlah pasokan yang memadai.Â
Kekuatan permintaan terhadap pasokan di pasar begitu kuat, sehingga membuat pelaku pasar memiliki kesempatan yang lebih besar mengatur pergerakan barang dan harga komoditi beras. Sebagian pihak kemudian menyimpulkan bahwa telah terjadi kartelisasi bahkan monopoli beras, sebuah dugaan yang tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena untuk mengusai 51% pangsa pasar membutuhkan modal yang sangat besar. Jika konsumsi pasar nasional sebanyak 36 juta ton, maka untuk memonopoli pasar beras diperlukan penguasaan stock sebesar 18 juta ton dikalikan harga rata rata beras Rp 10.000,00 per kg setara dengan modal Rp 180 triilliun.Â
Pun jika diperhitungkan dengan 2 kali masa panen sebagai perputaran modal, tetap dibutuhkan modal sebanyak Rp 90 trilliun. Angka yang sangat fantastis umtuk memonopoli pasar beras. Bahkan untuk perusahaan sekelas Tiga Pilar Sejahtera yang sudah terdaftar di bursa saham pun ekuitasnya hanya sebesar R 3,4 trilliun saja, belum mencapai 5% dari kekutan modal untuk memonopoli pasar beras.
Dugaan lainnya adalah telah terjadi kartelisasi di pasar beras. Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat". Menurut KPKU, pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Bahkan Komisi IV DPR RI juga menengarai terjadi kartelisasi beras.Â
Namun nyatanya hal tersebut juga sulit dibuktikan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah jika kenaikan harga beras bukan karena ada kartelisasi lalu sebab apa yang membuatnya demikian selain karena faktor kuatnya permintaan dan pregerseran selera konsumen. Salah satu jawabannya adalah terjadinya perilaku selayaknya kartel yang dilakukan oleh pedagang karena memang ada kesempatan melakukan hal tersebut. Perilaku kartel ini terjadi akibat sikap Pemerintah yang tidak tegas mengatur jalur pasokan dan distribusinya, yang mana selama ini Pemerintah hanya menetapkan HPP untuk mencegah harga harga jatuh saja tanpa ada upaya untuk mengatur jalur pasokan dari daerah surplus ke daerah defisit produksi beras.Â
Jalur suplai beras menjadi tidak terkontrol karena diserahkan kepada pasar, dan menjadi tidak efisien ketika pintu jalur keluar masuk distribusi beras kemudian dikelola oleh 1 pihak saja, yaitu Pasar Induk Beras Cipinang. Meskipun harga gabah adalah dasar menghitung harga beras secara umum, tetapi ini hanya berlaku di tingkat penggilingan, belum sampai pada tingkat harga pasar yang diterima konsumen.
Selisih harga di tingkat penggilingan dan konsumen ditentukan oleh distribusi dan jalur suplai, disparitas waktu dan disparitas tempat membentuk harga pada tahap ini melalui negosiasi antara pedagang. Pada tahapan negosiasi ini perilaku kartelisasi bisa saja terjadi. Keberadaan PIBC yang melenggang sendirian di pasar beras nasional membuat perilaku kartelisasi berjalan aman aman saja, sehingga tawar menawar harga dan pengaturan distribusi serta penguasaan stock beras terjadi begitu saja tanpa bisa diintervensi secara langsung oleh Pemerintah.Â
Keberadaan PIBC yang sejatinya sebagai tempat bertransaksi lambat laun berubah fungsi sebagai regulator komoditi beras secara tidak resmi karena tidak ada penyeimbang yg sepadan. Akan berbeda situasinya jikalau Pemerintah berperan aktif dengan membuat pasar induk beras di masing-masing daerah produsen. Tentunya pasar akan lebih dinamis dalam bernegosiasi karena tidak terpatok pada satu pasar induk dan persaingan usaha menjadi lebih sehat karena perilaku kartelisasi dapat diminimalisir.
Masih ada penyebab yang cukup berpengaruh sebagai penyebab kenaikan harga beras, yakni faktor psikologis. Media dan jejaring sosial sangat berpengaruh menentukan opini dan persepsi sehingga secara psikologi para pelaku perberasan terpengaruh dalam membuat keputusan. Sedikit saja muncul isu tentang beras semua pihak dari hulu ke hilir akan bereaksi dan segera mengambil keputusan terlebih dulu untuk mencegah kerugian dengan menaikkan harga walaupun belum ada klarifikasi terhadap isu yang dimunculkan.Â
Karena tindakan mencegah kerugian ini didahulukan meskipun hal ini wajar dalam dunia usaha, tetapi menjadi masalah ketika harga terlanjur naik. Disinilah seharusnya Pemerintah lebih bijak dalam mensosialisasikan kebijakan terkait perberasan dan tidak memblow-upnya sehingga menjadi viral. Meskipun blow-up isu di media dapat memberikan dampak tekanan psikologis, namun ini hanya bersifat sementara saja selanjutnya publik akan kembali pada realita.Â