Terlahir sebagai laki-laki atau perempuan adalah suatu takdir, kodrati yang dimiliki setiap individunya. Namun pemahaman yang bias tentang kodrati laki-laki dan perempuan ini menangguhkam dominasi laki-laki di lingkungan masyarakat . Pemahaman masyarakat umum yang tidak memahami perbedaan konsep seks dan gender, memberikan pandangan bahwa kedua hal tersebut adalah hal yang sama, padahal secara konsep keduanya memiliki perbedaan.(Khomisah, 2017). Kerancuan ini mengkonstruksi baik secara sosial budaya bahwa laki-laki sebagai kaum superior dan perempuan kaum inferior, yang dimana pada kenyataanya secara kodrati kedudukan setiap manuasia adalah sederajat dan setara (Siswati et al., 2022). Kurangnya pemahaman masyarakat tentang perbdeaan konsep seks dan gender itulah, yang menumbuhkan kelestraian bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial (Hidayati, 2015).
Dakwah dalam islam menjadikan keberadaan perempuan di ruang publik menjadi hal yang lumrah di masyarakat saat ini. Kehadiran perempuan di ruang publik menjadi seorang pendakwah, di awali oleh sosok Syadidah Khdijah yang mengawali gerakan dakwah perempuan islam (Alfiyah et al., 2022). Pada dasarnya islam menganjurkan perempuan berperan aktif dalam keluarga dan masyarakat, dengan alasan keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam membentuk lingkungan masyarakat yang sejahtera. Perempuan islam yang berdakwah memiliki kewajibannya dalam bertanggung jawab yang kaitan dalam hal ibadah dan akhlak serta memberikan bimbingan sosial untuk mencegah kemungkaran. Pertanggung jawaban dalam berdakwah inilah, tidak dibedakan baik kaum perempuan maupun laki-laki.
Secara islam menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah Allah dimuka bumi, guna untuk melaksanakan tugas kehidupan di dunia. Dalam hal ini , semua manusia itu dibekali potensi fisk maupun kemampuan berfikir akal secara penuh, sebagai ibarat bahwa dakwah bisa menjadi lentera kehidupan yang memberi cahaya dan menerangi hidup manusia dari nestapa kegelapan. Dengan demikian, problematik gender bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhanya memilki kedudukan yang sama di hadapan Allah kecuali pada segi ketakwaanya(Yaqinah, 2016). Â Dalam risalahnya agama islam menjadikan keseluruhan umatnya untuk terus berdakwah dimanapun tempatnya dan kepada siapapun umatnya, untuk menyampaikan walaupun satu ayat.
Berkenaan seorang perempuan harus bisa mengakses secara domestik dan publik, menjadikan kontroversi kebolehan perempuan berdakwah di sektor publik, semestinya tidak muncul apalagi pemicu perbedaan pendapat dalam mengintertasikan kewajiban perempuan dalam al-quran sebagai seorang muslimah yang baik. Sebagaimana pada bagian sejumlah ayat al-quran lainnya malah merekomendasikan bagi perempuan untuk berkiprah di berbagai aktifitas publik, baik ekonomi, sosial, politik, kegamaan atau pendidikan yang diidealkan Al-quran mempunyai kemandirian dari berbagai aspek.
Di era kontemporer saat ini, kegiatan dakwah masih di dominasi oleh kaum laki-laki khususnya dakwah bil lisan seperti khutbah, kajian digital dan sebagainya. Menjadikan dominasi laki-laki dalam dunia dakwah berimplikasi kepada pesan yang kurang ramah terhadap perempuan. Sehingga suatu majelis yang diisi oleh dai'yyah maka majelis itupun hanya di datangi audiens perempuan atau ibu-ibu saja, sedangkan berbeda dengan kajian da'i bisa semua segmentasi audiens bisa semua hadir untuk mendengarkan atau mengisi majelis tersebut. Meskipun begitu beberapa tempat sudah mulai ada laki-laki yang hadir pada majelis/ dakwah dai'yyah.
Dilihat dari sebuah fenomena yang bisa kita lihat saat ini, fenomena dakwah yang dilakukan oleh ustadz Hanan Attaki dan ustadzah Mamah Dedeh. Ustadz Hanan Attaki berhasil merangkul audiens dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, dengan pendekatan yang modern dan relevan. Sedangkan, kajian ustadzah Mamah Dedeh cenderung tersegmentasi, lebih banyak dihadiri oleh ibu-ibu dan audiens perempuan yang lebih dewasa.
Perbedaan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti gaya komunikasi, topik yang dibahas, serta cara dakwah disampaikan. Ustadz Hanan Attaki menggunakan media sosial dan bahasa yang lebih dekat dengan anak muda, sehingga lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan. Sebaliknya, Mamah Dedeh lebih dikenal melalui televisi dengan format ceramah yang lebih tradisional, yang mungkin lebih menarik bagi audiens yang lebih tua atau ibu rumah tangga.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam berdakwah, perempuan menghadapi tantangan tambahan dalam menjangkau audiens yang lebih luas, terutama jika metode dan medium dakwah mereka tidak beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan audiens yang berbeda. Untuk solusi dari tantangan ini, pendekatan dakwah yang inklusif, adaptif, dan penggunaan teknologi dapat menjadi kunci penting bagi para da'iyyah perempuan untuk menjangkau audiens yang lebih beragam.
Harus diakui bahwa pada dasarnya islam tidak mengatur wilayah perempuan dan laki-laki secara skematis. Islam menyisakan wilayah tertentu untuk diatur oleh akal manusia berdasarkan tuntutan-tuntuntan yang senantiasa berkembang. Pandangan seperti ini, semestinya diyakini tidak menyimpang dari semangat dan ajaran agama sedari awal. Tanpa dengan sikap bijaksana, universalitas dan kemudahan menjalankan agama akan hilang ditelan zaman.
Oleh karenanya, sangat disayangkan  jika ruang dakwah yang potensial bagi perempuan terbatas, hanya karena melanggengkan pemahaman-pemhaman keagaman yang tidak ramah terhadap perempuan. Untuk merubah itu, para da'iyyah harus menjadikan pusat perubahn dalam panggung dakwah yang lebih luas, agar menciptakan pesan-pesan kesetaran dan keadilan bahwa perempuan sama pandai dengan laki-laki saat berdakwah.
Tak luput dipungkiri bahwa persamaan perempuan dan laki-laki memiliki derajat, hak, dan tanggung jawab yang sama di sisi Allah Swt, namun bukan berarti persamaan itu menuntut tugas yang sama. Keduanya berada pada orbit yang berbeda, tugas dan peran yang berbeda namun saling melengkapi.  Karenanya perempuan harus menjadi perempuan  dengan vitalitas dan kerja nyata dalam menjalankan tugas utamanya sebagai perempuan muslimah untuk berdakwah tanpa meninggalkan tanggung jawab lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiyah, A., Ahlan, A., & Adila, F. (2022). Eksistensi Perempuan Dalam Dakwah Kontemporer Perspektif Al-Qur'an dan Hadis. Madinah: Jurnal Studi Islam, 9(2), 254--263. https://doi.org/10.58518/madinah.v9i2.1386
Hidayati, N. (2015). Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan Publik). Muwazah, 7, 108--119.
Khomisah. (2017). Rekonstruksi Sadar Gender: Mengurai Masalah Beban Ganda (Duble Bulder) Wanita Karier Di Indonesia. Jurnal Al-Tsaqafa, 14, 397--410.
Siswati, E., Harumike, Y. D. N., & Batari, Y. T. (2022). THE AWARENESS OF GENERATION Z ABOUT NATURE, SEX AND GENDER. TRANSLITERA, 11(1), 2088--2432. https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/translitera
Yaqinah, S. N. (2016). PROBLEMATIKA GENDER DALAM PERSPEKTIF DAKWAH. Tasamuh, 14(1), 1--19.
https://cariustadz.id/artikel/detail/mengarusutamakan-perspektif-perempuan-dalam-dakwah-islam
https://bincangmuslimah.com/kajian/bolehkah-perempuan-ceramah-di-depan-lelaki-30516/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H